The (de)sign

37 4 19
                                    

Bangunan dengan infrastuktur kuno, lebih seperti suatu istana yang besar di era regency eropa. Setiap orang yang berada di bawah  atap gedung ini merasa sebagai seorang pangeran dan putri kerajaan. Alih-alih desas-desus mengenai gedung ini bukan hal yang menyeramkan, dikatakan bahwa pendiri sekolah ini hanya ingin menjadikan sebuah tempat belajar yang membuat nyaman para siswa/i, sekaligus tempat sumber inspirasi. 

Apakah  aku menghapalnya? Mustahil, tentu tidak. Kalimat itu tertulis di dalam visi dan misi  sekolah. Bukan suatu kewajiban untuk menghapalnya, tetapi selalu ada seseorang yang mengingatkannya. Kalian akan tahu sendiri, karena aku sedang berjalan menuju orang tersebut. 

"Anak-anak, selamat pagi! Tegakkan bahu mu itu, berjalan-jalanlah ke taman segarkan pikiran mu~" 

Mr. Lee, aku tidak tau siapa nama aslinya, karena para murid di sini hanya memanggilnya Mr.  Lee atau yah mereka membuat sebutan sendiri. Beliau merupakan ketua divisi bidang seni. Rumornya beliau akan pensiun di tahun ini, meskipun begitu aku merasa termotivasi dengan semangatnya. 'Suatu angka bukanlah masalah untuk mewujudkan secercah impianmu.' kalimat yang Mr. Lee selalu ucapkan sebelum memulai kelasnya. 

Omong-omong aku  akan menjelaskan sedikit tentang sekolah ini, apakah ini hanya  sekolah seni? Tidak. 

Sama seperti sekolah pada umumnya, kami tetap belajar soal kimia, fisika, matematika, sejarah,  sastra, dan yang lain. Hanya saja para  murid diwajibkan mengambil satu bidang yang sesuai dengan minatnya, di mana nanti akan banyak hal yang bisa  kamu lakukan untuk mempresentasikan karya mu lebih luas. 

Gedung ini luas, tinggi dan besar. Setiap interiornya dibuat semirip mungkin seperti di dalam istana. Dua tahun sudah berlalu, tetapi aku masih sering tersesat ketika menuju kelas. Kecuali studio seni.

"Alvera!"

Refleks, aku menoleh. Seseorang memanggil.

Oh... Tidak... Seharusnya aku tidak menoleh. Sial.

"Hey! Alvera!"

Aku kembali mempercepat tempo jalan ku, setidaknya 2 meter lagi sampai masuk kelas.

"Ga nengok, blacklist evaluasi."

Kurang ajar. Mainnya ngancam. 

"Ga asik banget, heran. Hidup lo kaku."

Wajahnya sudah masam. Aku mencoba sebaik mungkin sedikit mencairkan suasana, terhindar dari pertanyaan yang diawali dengan 'mengapa'. 

"Kenapa--"

"Jadi gini, kan 10 menit lagi mau masuk. Anda juga liat saya bawa barang sebanyak ini, jadi saya ga sempet nengok."

"Tapi tadi kamu sempet nengok."

"Goodness, lagian kehadiran lo tuh bawa aura ga baik tau gak!"

"Dih-!"

"Iya-iya! Gue tau! Lo mau liat sketch nya kan? Ntaran kenapasih!"

"Istirahat, saya tunggu."

"Siap, komandan! Anyway, jangan kaku deh."

"Ga ada urusannya sama saya."

"Kan jadi mirip doi aku:("

Diawali dengan wajah masam, di akhir dengan wajah geli. Lalu ia pergi. Hah... ya- jadi begini, lelaki yang tadi adalah ketua dari kelas fashion design. Satu kelas wajib yang aku ambil, fashion design. Setiap bulannya mengadakan catwalk di kota, tentu karya tersebut dari para murid.

Ini sudah kesekian puluh kalinya aku mengajukan design ku. Semoga yang kali ini diterima, karena rasanya Dewi fortuna sudah akan memihak.

£££

The SketchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang