Invitation

29 4 43
                                    

Jadi, kemarin, yah akhirnya aku menyerahkan kertas sketsa ku dengan keadaan yang sedikit menegangkan. Sang ketua hampir memberikan sumpah serapahnya karena menunggu terlalu lama.

Tapi, hey! Kehilangan sketsa itu adalah kejadian yang tidak bisa diprediksi.

Apa yang akan aku bahas sekarang? Teman ku? Sahabat ku? Keluarga ku?

Jay, teman masa kecil. Mulai dari aku berumur 6 tahun hingga sekarang. Orang yang konyol, tapi ia selalu membuat ku merasa nyaman. Entah takdir atau bukan, kami selalu berada di sekolah yang sama. Lucu, bukan? Aku sempat pindah ke Swiss saat naik SMP, pada saat itu seharian aku hampir menangis karena akan berpisah dengannya. Nyatanya tidak. Kami bertemu lagi di sana.

Mark, kami -aku dan Jay- bertemu dengannya saat duduk di bangku SMP hingga sekarang. Orang yang sempurna, anggapan ku saat pertama kali melihatnya.  Pandai bermain musik, membuat lagu, bermain basket dan sangat menghargai setiap orang. Bukankah rata-rata itu sudah mencakup tipe ideal yang sempurna?

Masih banyak kelebihan mereka,  sayangnya aku bukanlah orang yang mudah memuji orang lain. Terlalu sulit menguraikan sifat manusia yang bisa berubah-ubah. Lagi pula pekerjaan ku terlalu menumpuk untuk mengamati mereka berdua.

"Gimana seleksi lo?"

Itu Jay. Kami sedang menikmati waktu istirahat. Mark sedang sibuk di studio musiknya, katanya lebih baik menghabiskan waktu di ruang kerjanya itu dibandingkan di ruangan yang penuh suara tanpa nada.

"Gatau," ucap ku tak acuh sambil fokus memotong daging sapi yang besar dan alot.

"Makanya kalo gw ajak olahraga tuh ikut!"

Gesekan garpu dan sendok ku mungkin terlalu berisik. Dengan inisiatif, Jay menukar potongan daging sapinya yang tentu sudah ia potong kepada ku.

"Dih! Emang ada hubungannya?Makasih, beb."

Ia menatap ku sejenak, setelah itu melanjutkan aktivitasnya. Hahaha tidak ada yang salah dengan ucapan ku, aku sering memanggilnya dengan sebutan manis yang biasa digunakan oleh orang pacaran.

"Jay... lo suka sama gue, ya?"

"UHUK-!"

Oh, maaf. Astaga, memangnya semengejutkan itu?

"Kesambet lu? Bahaya nih, udah deh mending lu balik cepet hari ini. Kasian banget, mana masih muda."

"Sialan! Lu kira gue stress? Tapi emang sih.

"Tapi nih ya, biasanya kan katanya sahabatan lawan jenis tuh pasti ada salah satunya yang pake perasaan."

"Penelitian dari mana tuh?"

"Hmm, twi*ter."

Ia tidak menjawab. Aku juga merasa canggung, dasar suka banget nyari penyakit.

"Kalo iya, lo emang mau?"

Duh, deg-degan. Skakmat kan giliran ditanya balik.

"Ya mau aja sih, secara lo udah cakep, pinter, baik, kaya lagi. Gas lah. Ngeng~"

"Cakep? Jadi cuma di mata lu doang gw keliatan ok? Lu ga liat banyak yang ngantri?"

Di dalam kamus ku ada 3 level ketampanan. Yang pertama 'cakep' dipakai saat orang itu memiliki ketampanan yang relatif. Kedua 'ganteng' dipakai untuk level ditengah, setengah relatif dan setengah tidak manusiawi. Yang terakhir 'tampan' dipakai untuk orang yang memiliki ketampanan yang tidak manusiawi. Namun, percayalah! Semua itu tidak akan berlaku ketika seseorang itu memiliki suatu keunikan.

"Hah? Kepedean lo!"

Jay tertawa kecil, senyumnya terlihat manis, "urusin aja doi lo sana! Bosen gw dengerin ocehan lu tentang dia."

The SketchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang