Dandelion

23 3 29
                                    

Kami masih setia berdiri berhadapan sambil membuang pandangan- atau mungkin hanya aku yang berusaha untuk tidak bertatapan dengannya. Sesekali aku melihat ke arah Jayden yang secara berkala mengecek jam tangannya. Suatu kehormatan jika ia sungguhan meluangkan waktu sibuknya untuk datang ke pesta remaja ini.

"Jayden, sebenernya kalau sibuk gapapa sih ga usah dateng."

Awalnya aku ingin bertanya apakah ia sibuk atau tidak, tapi lebih baik aku langsung memberikannya tanda untuk pergi jika mau. Walaupun hati ini ingin ia menetap.

"Maaf, itu hanya kebiasaan." Ia segera memasukkan kedua tangannya ke saku celana.

Aku tersentak, ia cukup peka untuk memahami arti perkataan ku.

"Ohh, aku kira Jayden sibuk."

Ia menunduk, kelihatannya ada senyum yang tersamarkan. Lucu sekali.

"Sepertinya kita terlalu lama berada di sini, kamu tidak mau masuk ke tempat pesta?"

Iya juga, tapi selain berbincang dengan Jayden tadinya aku juga sedang menunggu Jay. Kira-kira ke mana perginya bocah itu? Kan sudah ku bilang akan menunggu, heuh dasar.

Sebelum pergi, sekali lagi aku mengedarkan pandangan ke segala arah guna mencarinya. Sudahlah, mungkin Jay sudah masuk duluan.

Letak ruangan yang di pakai lumayan jauh, karena aku datang dari pintu utama jadi harus berjalan ke halaman belakang.

"Jayden!" Tiba-tiba ada satu ide yang muncul di otak ku.

Ia hanya menengok.

"Gimana kalau lewat luar aja? Dari pada jalan lewat dalem lebih jauh," setengah modus, setengah fakta. Waktunya juga cukup jika kami ingin berbincang sambil berjalan bersama.

Lagi-lagi ia hanya mengangguk. Untungnya cuaca hari ini tidak terlalu panas, angin malamnya juga tidak terlalu dingin. Udaranya segar, pemandangannya indah.

Pria di sebelah ku ini sangat tenang, aku tidak tau apa yang ia pikirkan dan rasakan. Apa ia sungguh menikmati momen sekarang atau tidak.

"Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" Kali ini ia membuka topik duluan. Walau pertanyaannya sedikit ambigu dengan nada bicaranya. Seakan ia sungguh berpikir ada tempat lain di mana kami bertemu.

"Selain di perpustakaan, apa kita pernah bertemu?" Sekali lagi ia bertanya.

Panti asuhan. Aku ingin mengatakannya, tapi aku menahan diri. Kami ... sedekat apa? Masa lalu yang ingin aku ceritakan, tidak bisa diungkapkan.

"Pernah," lirih ku.

Tiba-tiba kami berhenti. Ya, sudah sampai. Rasanya terlalu singkat, padahal aku ingin mengatakan satu hal lagi. Apa aku harus mengajaknya berjalan lagi?

Aku berjalan menaiki tangga mendahuluinya. Namun, setelah beberapa anak tangga aku merasa tidak adanya pergerakan. Ia masih diam membatu. Mulutnya tertutup, matanya terpaku kepada ku.

"Kayaknya di dalem rame banget deh, gimana kalo di luar aja?"

Akhirnya aku mengajaknya pergi lagi. Kami pergi ke taman kecil yang berasa di dekat pintu belakang. Meskipun kecil, pemandangannya tetap cantik kok. Di sini lebih banyak kursi taman dari pada taman utama.

"Bagaimana dengan kontrak yang saya tawarkan? Kamu sudah mempertimbangkannya?"

"Oh, itu. Tenang aja, kalau aku tolak berarti aku gila."

Sebenarnya itu terdengar candaan yang garing, ia tertawa. Tangan ku terlalu kosong, apa tidak ada sesuatu yang bisa ku pegang? Hmm, sepertinya aku harus membeli minuman dulu.

The SketchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang