Third Floor: The Library

25 4 17
                                    

"Kemaren lo ditembak?"

"Lah mati dong gue."

"Act to be serious, Blue."

Aku menghela napas berat, mereka ga mungkin sewa spy kan? Gila banget ini sih.

"Ya ga lah... bukannya lo sekelas juga sama Jake, Mark?"

"Hubungannya apa?"

"Ga ada sih," ucap ku sedikit linglung, menciptakan tatapan aneh dari dua makhluk di depan.

Lumayan stress untuk mempertimbangkan dan membuat tipe pakaian dalam waktu 2 bulan. Hari ini aku berencana berjalan-jalan untuk mencari inspirasi atau mungkin pergi ke perpustakaan? Bukan ide buruk.

"Kalian tau bakal ada prom night bulan depan?"

Aku sedikit kaget ketika Jay memberitahu rencana tentang prom night. Maksudku, selama ini ia cuek tentang hal seperti itu dan biasanya aku yang susah payah mengajak mereka.

Jay memberikan lembaran kertas berisi undangan pesta di malam hari. Ah, kali ini agaknya terdengar private. Perlu berulang kali apa aku perlu ikut atau tidak.

"Ikut?"

Sinting. Ini pesta yang hanya bisa diikuti oleh para pasangan dengan status yang lebih dari teman. Jika aku datang bersama Jay atau Mark, wah... skandal ku akan bertambah banyak.

"Mungkin ga... lagian daripada ke sana mending gue ngerjain project."

"Kasian, ga ada gandengan ya..." ledek Jay, menyebalkan.

"Jangan sampe nih sepatu melayang," gurau ku seraya hendak melempar sepatu yang aku pakai.

Bercanda dengan mereka ternyata tidak mengurangi beban pikiran. Untuk itu aku memutuskan untuk berjalan-jalan sejenak ke taman atau ke perpustakaan atau ke lapangan olahraga atau aku harus bolos?

Soal kemarin, sejujurnya jantung ini hampir tidak berdetak setelah kembali rumah. Jake betulan mengantar ku sampai ke apartemen. Memang tidak bisa dipungkiri visual sang ketua panitia itu. Tidak banyak orang yang tahu kami lumayan dekat, bahkan Jay dan Mark sekalipun.

Aku memiliki banyak teman laki-laki dibandingkan perempuan. Kalau ditanya alasannya aku juga tidak tau, rata-rata mereka yang sudah dekat dengan ku adalah teman-teman lama.

"Lagi nyari inspirasi?"

Di sini lah aku berakhir. Taman. Spot yang paling bisa diandalkan, haruskah aku membuat design seperti bunga lily? Atau seperti fairy tale?

"Oh? Hi, Camela."

"Hi," balasnya dengan senyum sumringah, matanya menyipit karena sinar matahari yang terik.

Dia mengambil alih tempat kosong di sebelah ku. Camela, salah satu teman perempuan ku. Kami bertemu saat aku mengikuti pertukaran pelajar ke Polandia. Sering kali berpikir orang-orang yang berada di sekitar ku ini adalah sebuah takdir.

Camela adalah gadis yang lembut dan anggun, rambut pirangnya yang bersinar dan begitu halus, wajahnya terlihat kecil. Gadis yang penuh aturan dan sistematis.

"Udah denger soal prom night? Kamu ikut?"

"Lo pasti ikut, Steve kan?"

Dia tertawa kecil, "iya. Tapi kamu bisa ajak Jay atau Mark? Lagi pula kan ini ga harus orang pacaran."

Benar juga, tetapi tetap saja aku merasa aneh. Nanti mereka akan memutar musik yang romantis dan berdansa dengan pasangan masing-masing. Saling melingkarkan tangan, mengecup atau bahkan---

"Masih bulan depan dan kerjaan gue lumayan numpuk."

"Bukan karena kejadian tahun kemarin kan, Blue?"

Kejadian itu lagi. Namun, memang iya. Kalian ingin tau mengapa?

Ajang fashion tahun kemarin aku anggap sebagai keadaan titik terendah ku. Seseorang mencuri buku sketsa milik ku, aku tidak tau siapa yang mencurinya dan di mana buku itu sekarang. Dan seseorang yang lain menggunakan buku itu untuk design fashionnya, dia menggunakan karya itu untuk membawa namanya sendiri.

Salah satu kejadian buruknya ada di pesta setelah fashion show. Aku mengamuk di pesta itu, sayangnya tidak semua orang percaya. Mereka mengatakan bahwa aku hanya iri dengan pencapaiannya.

Pada saat itu aku kecewa, kecewa dengan diri ku sendiri. Terlalu ceroboh, seandainya waktu itu aku lebih berhati-hati maka mungkin aku lah yang sudah menjadi bintang. Setiap orang tidak akan mengira aku iri dan penuduh.

"Blue?"

"Bukan, ayolah emang gue keliatan kayak punya penyesalan gitu? Lagian gabut banget gue mikirin masalah itu lagi."

Sedikit berbohong, bukannya memang aku harus memaksa agar tidak mengingat terus kejadian itu sebagai penyesalan?

Camela tersenyum lega, lalu dia terlihat mencari sesuatu di balik lembar buku-bukunya. Sepertinya ada lembaran yang dia selipkan.

"Nih," Camela menyodorkan 2 kartu untuk prom night. "Kamu butuh kartu buat ikut pestanya, tadi aku ambil banyak sih karena pada nitip. Seenggaknya kamu pikirin dari sekarang siapa yang bakal jadi prince nya."

Dia menepuk pelan pundak ku, lalu pergi.

£££


Untungnya hari ini Jum'at, tidak banyak pelajaran yang harus dilewati dengan berbagai rumus dan teori yang tentunya kurang sinkron dengan otak ku.

Lantai 3. Lantai yang sunyi, hampir tidak terdengar kegaduhan. Di sini terdapat kelas melukis dan perpustakaan, para murid hanya fokus terhadap objek yang mereka lukis. Lantai 3 juga diakui sebagai lantai yang memiliki pemandangan yang sangat indah, kamu bisa melihat gunung yang hijau, langit yang biru bersih dengan gumpalan awan yang teratur, taman kelihatan sangat jelas dengan pola labirinnya.

Aku merasa tenang di sini.

Ceklek.

Bahkan suara kenop pintu terdengar jelas, ketika kamu mulai memasuki kawasan sunyi, diam, tanpa suara.

Perpustakaan ini memiliki esensi kuno, rak yang tinggi menjulang sehingga kamu perlu menaiki tangga untuk mengambilnya. Di pagi hari perpustakaan ini tampak menenangkan, sinar matahari penuh menerangi setiap sudut. Berbeda di malam hari, aku katakan cukup menyeramkan.

Di ruangan ini aku memiliki kisah tersendiri. Aku jatuh cinta dengan seseorang, waktu itu adalah pertemuan pertama kami. Kalian percaya soal cinta pertama? Aku tidak terlalu.

Dan sekarang, di sini lagi, tempat duduk di sudut, seorang pria menggunakan pakaian casual. Mungkin ia sedang mendengarkan musik karena memakai AirPods.

Aku menemukannya lagi.

Senyum itu,

aku...

merindukannya.




























~~~
ⓣⓗⓔ ⓢⓚⓔⓣⓒⓗ
~~~

The SketchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang