Hope

16 3 20
                                    

D-3 menuju prom night.

Belum ada balasan sama sekali dari Jayden. Aku juga belum melihatnya akhir-akhir ini, padahal penilaian final belum selesai. Aku sedikit merasa gusar, niat ku sih memang ingin mengaku tentang perasaan ini.

Di luar jawaban, yang penting aku telah mengatakannya. Bukannya sudah pernah ku katakan kalau feeling untuk kontes kali ini terasa baik. Mungkin ini salah satunya.

Apa ya? Aku tidak pernah berpikir untuk berpacaran sebenarnya. Bahkan kalau boleh jujur aku sendiri kurang mengerti rasanya jatuh cinta. Iya, selama ini aku menebak perasaan ini sebatas kagum, suka atau sungguhan cinta. Atau aku mungkin hanya mengaguminya dan menyayangi nya.

Mana yang lebih tinggi antara rasa sayang atau rasa cinta? Atau ini hanya kisah cinta klasik bagi gadis berumur 18 tahun? 

Omong-omong aku sudah mempersiapkan dua dress untuk ke pesta itu. Dan tentunya dress ini ekslusif, original, karena dirancang oleh calon designer ternama. Tidak ada salahnya percaya diri dulu kan?

"Kamu lagi ngapain?" Camela bertanya yang dari tadi mengamati ku mengotak-atik gaun, sambil meminum minuman jelly.

"Ga ngapa-ngapain," jawab ku dengan tangan yang bergerak tanpa henti menambahkan detail dan merapihkan beberapa bagian dari gaun.

"Oh! Terus gimana nasib dari undangan yang aku kasih?"

"Ya, endingnya sesuai yang lo tebak."

Aku hampir bingung harus menjawab bagaimana. Dia itu kayak cenayang, dalih kasih undangan mungkin sedikit bantuan dari Camela untuk pendekatan ku. Padahal bisa dibilang aku dan Camela tidak sedekat itu.

Yah, aku tidak tau. Aku sih merasa seperti itu, seperti masih ada sekat. Atau mungkin karena kami senasib dalam hal asmara? Bisa jadi Camela tau rasanya mengejar makanya dia membantu.

"Terus-terus dia terima?" Matanya berbinar dengan antusias, haduh dari tadi dia selalu melempar pertanyaan yang membuat ku sedikit malu. Sedikit. Harusnya.

Aku menggeleng, "ga ... tau, lebih tepatnya sih belom dijawab."

"Butuh bantuan? Aku gak terlalu paham sih sama relasi hubungan kamu sama dia, tapi diliat akhir-akhir ini harusnya dia bisa buka hati sedikit." Ucap Camela dengan percaya diri akan hasil analisisnya.

"Maksudnya?" Selama 18 tahun baru kali ini aku berkonsultasi mengenai asmara, padahal dulu aku menolak mentah-mentah saran tentang hubungan ini. Aku pikir mudah menjalaninya seperti apa yang sudah aku pikirkan.

Camela terlihat mengambil napas terlebih dahulu mungkin ini akan menjadi penjelasan yang panjang lebar. "Seenggaknya kalau bukan sebagai pasangan kekasih, dia bisa buka hati buat status teman kan? Walau memang alasan buat nolaknya bisa masuk akal semua, karena kalian masih teman."

Benar juga, kami baru menjadi teman bahkan masih singkat untuk menjadi teman yang sesungguhnya. Jadi untuk apa berharap? Aku tersenyum kecut.

"Well, ya udah lah ya. Lagi pula masih ada undangan dari Jay, jadi gua ga sendiri." Aku terdengar seperti perempuan yang egois. Enggan untuk melepaskan dan dilepaskan.

£££

"Hahhhh," aku menghela napas panjang setelah merebahkan diri ke tempat tidur.

Kalau dipikir hari ini aku full bermalas-malasan. Yah, meski masih mengerjakan satu-dua pekerjaan. Namun, ada waktu santai yang lebih. Di kelas pun kalau tidak ada tugas tanpa sadar aku tertidur.

Ting!

Mendengar bunyi notifikasi dari ponsel, buru-buru aku meraihnya. Ah, sial. Mengapa aku jadi sering kecewa begini sih semenjak hari itu. Seakan aku sungguh berharap.

The SketchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang