Dan kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang yang sabar."
(Q.S. Al-Baqarah: 155)----
"Bilang aku buru-buru, nanti aku telpon balik," ucap Wildan sambil membereskan barang-barangnya. Hati dan pikirannya sedang tidak baik-baik saja, dia tidak mau hubungannya dengan Naira semakin kacau. Dia butuh waktu untuk berpikir sebentar.
Devita sudah menduga pasti sikap Wildan seperti itu karena mahasiswa yang baru saja keluar dari ruang kerjanya, Devita mendengar itu semua. Menyadari percakapan yang bahaya untuk keamanan rumah tangga sahabatnya, wanita yang baru saja dikaruniai anak ketiga itu langsung gerak cepat membisukan saluran telepon Naira.
"Oke, aku akan bilang ke Naira. Aku pergi dulu, assalamualaikum..." Devita langsung melenggang pergi dari depan ruangan Wildan setelah mendengar balasan salam dari pria itu.
Sedangkan Wildan tidak jadi beranjak, dia memutuskan duduk di kursinya kembali. Memijat keningnya yang pening sembari beristigfar. Teringat belum salat dhuha, Wildan beranjak melaksankan salat sunah tersebut berharap hati dan pikirannya kembali tenang.
Selesai salat dhuha, dia mengangkat ganggang telepon. Meraba-raba tombol-tombol angka dengan ragu. Tunggu sebentar, sebenarnya apa yang sedang menggelayuti perasaannya? Tentang mahasiswi yang menyatakan cinta atau kecemburuannya pada Haikal yang tidak masuk akal?
Wildan kembali meletakkan ganggang telepon dengan gusar, lalu membanting punggungnya ke sanggahan kursi. Dalam hatinya bertanya-tanya, "Serius aku cemburu pada sesuatu yang tidak aku lihat sendiri? Serius aku tidak percaya pada istriku sendiri? Pada Naira? Naira?"
Iya, Naira. Si wanita shalihah yang mampu bertahan mencintai pria yang dahulu tidak menginginkannya. Si wanita sabar yang selalu tersenyum meski hatinya terluka. Si wanita tangguh yang dilukai berkali-kali namun tetap bertahan. Si wanita yang telah melahirkan dua buah hatinya.
Sungguh tidak masuk akal.
Pikiran Wildan mulai terbuka, buru-buru dia menggapai ganggang telepon untuk menghubungi istrinya. Meminta maaf atas sikap kekanak-kanakannya, Wildan hanya cemburu dan dia menyadari itu.
Namun, telepon itu berdering terlebih dahulu. Seseorang menelponnya.
"Iya? dengan dr. Wildan," ucapnya setelah mengangkat panggilan tersebut.
"Masih di rumah sakit?"
"Hm, kenapa Ta?"
"Tolongin ane, Wil."
Wildan menghela napas sebentar sebelum berkata, "Iya, otw."
Setelah ganggang telepon itu berada di tempat semula, Wildan segera menyambar jas putih dan stetoskop kemudian keluar dari ruang kerjanya. Siapa lagi yang bisa membuatnya harus berjalan di lorong akses menuju IGD, jika bukan sahabatnya, Genta. Genta baru saja pindahan rumah bersama istrinya, Athifa yang saat ini hamil tua anak kedua. Dia baru saja mendapat telepon dari istrinya, jika perutnya mulai merasakan sakit.
"Hei..." Wildan masuk ke ruang paling sibuk di rumah sakit, banyak perawat dan dokter yang berlarian ke sekat-sekat perawatan dengan troli tindakan. Suasana IGD sangat padat, brankar berjejer dengan infus yang menggantung. Suara kesakitan, teriak tangis, dan juga kepanikan memenuhi ruangan.
"Alhamdulillah," ucap Genta begitu Wildan mendekat ke Nurse station, dia membuka beberapa berkas dan menunjukan berkas itu kepada Wildan. "Nggak banyak, ada di triase merah semua."
"Hah? Triase merah?" Wildan terkejut, baru saja dia menangani operasi dan sekarang dihadapkan pada pasien kritis di IGD!
"Tinggal pantau aja, tapi kalau ada OB ya, maapin," kata Genta dengan cengiran senyum, "dah, ane buru-buru, bini keburu brojol!" Genta menyambar tas yang ada di atas meja kemudian berlari keluar pintu darurat IGD.
KAMU SEDANG MEMBACA
[DSS 5] DEAR ALLAH 2
RomanceKehidupan rumah tangga Wildan dan Naira begitu harmonis dengan kehadiran zuriat yang mereka nanti-nanti. Karena janji yang pernah terucap oleh bibir Naira, wanita itu harus berpisah untuk ke dua kalinya dengan sang suami. Ternyata perpisahan sement...