"Empat hari lagi, Nai, please pulang, ya?"
Aku mengangguk sambil mencium punggung tangannya, "Titip salam rinduku untuk anak-anak, ya. Rasanya ingin ikut pulang sekarang, tetapi aku harus menunaikan sumpahku. Aku sedang tidak egois, kan, Mas?"
Mas Wildan tersenyum sambil menggeleng, "Kamu hanya ingin menepati janji. Aku berdoa semoga tidak ada hal buruk yang terjadi padamu lagi."
"Aamiin."
Mas Wildan mencium keningku kemudian dia memelukku. "Aku akan menunggumu empat hari lagi di Stasiun, kembalilah dengan selamat, hm?"
"Iya, Mas."
Mas Wildan melambai setelah dia masuk ke mobil yang akan mengantarkannya ke stasiun. Rasa rinduku belum tuntas untuknya, rasa rinduku masih ingin memeluk hatinya lebih erat lagi. Begitu pula dengan rasa rinduku kepada anak-anak, anak lanangku Yusuf dan putri tercintaku Yasmin. Empat hari lagi, aku akan pulang, harus pulang.
Aku tidak bisa meninggalkan posko yang sekarang beban tugasnya lebih banyak karena kehadiran dua puluh satu pengungsi baru. Satu tenda di bangun lagi untuk mereka, perawat di sini jadi terbatas. Relawan dari tenaga medis yang baru akan datang dua hari lagi. Setelah mereka datang, aku hanya akan bersiap untuk pulang.
"Dokter Wildan keliatan cinta banget sama Kak Nai, ya?" tanya Jamal di sampingku yang turut mengantar Mas Wildan pulang.
Aku tersenyum sembari berjalan menuju truk untuk pulang ke posko. Kebetulan kami juga sedang mengambil pasokan logistik tambahan di Gardu Lima. Aku ditemani Jamal dan dua perawat lainnya.
"Oh, ya," aku baru teringat sesuatu, mumpung di sini tidak ada Haikal, "Dokter Haikal pernah curhat nggak sih sama kamu? Tentang obrolan tiga hari yang lalu sama Dokter Wildan?"
"Yang mereka berdua ngobrol berdua di bawah pohon ringin, Kak?"
Aku mengangguk, "Hm, betul. Kamu tahu mereka ngobrolin apa? Soalnya aku tidak enak nanya langsung sama Mas Wildan. Nggak gimana-gimana sih, cuma penasaran aja."
Jamal menggerakan bola matanya ke pojok kiri sembari mengerutkan kening, mencoba mengingat-ingat sesuatu beberapa detik sebelum akhirnya dia menggeleng, "Nggak deh, Kak, Haikal nggak pernah cerita apapun. Dia agak tertutup sekarang, beda waktu masih koas."
Aku memang menyadari itu. Jika diingat Haikal hampir sama kelakuannya dulu dengan Jamal. Tingkahnya lucu dan suka tersenyum, suka bikin jokes yang tidak jarang membuat para perawat dan dokter tertawa. Dia lumayan asyik meski konyol. Berbeda dengan sekarang, dia lebih pendiam, jarang ikut nimbrung, jarang ada bercandanya. Seperti menyimpan sesuatu yang tak ingin orang lain tahu.
"Haikal dari dulu terkenal loh di Rumah sakit kami sekarang," kata Jamal sambil menaikan kakinya ke bak truk yang sudah terisi logistik makanan dan obat-obatan medis.
"Oh, iya?" Kini aku menyusul naik, berdiri memegangi pinggiran bak truk, bersebelahan dengan posisi Jamal. Kami menghadap kearah yang sama, pohon-pohon yang bersilih ganti kita lewati kala truk melaju. "Kok bisa terkenal?"
"Terkenal jonesnya," jawab Jamal sambil tertawa. Aku meliriknya sebentar dengan pandangan mencibir, dia pasti bercanda. "Beneran, Kak, dia terkenal sebagai dokter jones."
"Kenapa bisa begitu?"
"Saya pernah tanya gini, 'Dok, lo masih suka cewek, kan? Nggak gay, kan?' Eh, saya malah ditoyor."
Aku terkekeh, pertanyaan macam apa itu pantas saja ditoyor.
"Tapi dia jawab, jawabnya gini 'Gue normal, tau. Cuma lagi nunggu hatiku sembuh dari luka patah hati di masa lalu' begitu katanya, Kak."
KAMU SEDANG MEMBACA
[DSS 5] DEAR ALLAH 2
Любовные романыKehidupan rumah tangga Wildan dan Naira begitu harmonis dengan kehadiran zuriat yang mereka nanti-nanti. Karena janji yang pernah terucap oleh bibir Naira, wanita itu harus berpisah untuk ke dua kalinya dengan sang suami. Ternyata perpisahan sement...