6. Bentangan Gemintang

19K 2.2K 185
                                    

"Aku merindukanmu seperti millyaran bintang yang membentang di langit malam. Kamu jangan khawatir, hatiku sudah bekerja keras untuk merindukanmu tidak ada kesempatan untuk melakukan hal lain."

15 Feb 2021


Semua berawal dari bencana tanah longsor yang terjadi di dusun Sukotaman beberapa hari yang lalu berbarengan banjir  bandang di dusun Mojoarto yang berjarak beberapa kilo saja, tenaga medis kewalahan karena bencana datang bersamaan dalam waktu yang berdekatan. Tenaga medis dari Gardu lima, empat, tiga didatangkan untuk membantu di kedua lokasi tersebut, namun tetap tidak bisa diatasi karena korban luka banyak dan naasnya terjadi di malam hari.

Salah satu anak dari warga desa Mojoarto terluka, orang tuanya sudah berlari ke sana kemari untuk meminta pertolongan tetapi tenaga medis sangat kewalahan dan menempatkan anak tersebut di tenda antrian. Orang tuanya marah-marah karena anak tersebut merintih kesakitan, menyeret salah satu dokter untuk menanganinya langsung. Baru saja ditangani oleh satu dokter dan dua perawat, anak tersebut kejang dan meninggal tidak lama dari itu.

Orang tuanya tidak terima, bapaknya mengamuk dan memporak-pondakan tenda. Menyalahkan tenaga medis karena terlambat menangani anaknya, padahal yang terjadi semua tenaga medis kewalahan, banyak korban yang sama kritisnya. Keadaan itu sama-sama membuat tenaga medis serba salah. Karena sebab kejadian tersebut, bapak dari orang tua tersebut menghasut warga untuk pergi dari pengungsian, menyumpahi akan membakar tenda-tenda medis jika mereka tidak pergi dari desa mereka.

Aku menarik napas panjang, buku-buku tanganku masih terasa dingin, aku menatap langit yang tersebar para bintang. Sungguh keadaan yang miris dan rumit.

"Setelah ditelurusi ternyata emang anak itu udah punya penyakit kronis, Nai. Naas aja penyakitnya kumat pas ada banjir. Begitulah cerita yang aku dengar," Dewi menutup cerita.

"Terus dari Kepala Desa nggak ada tanggapan?" tanyaku sambil menurunkan pandangan ke arah Dewi.

"Sudah mencoba berunding dan membujuk sebagian warga dusun Mojoarto untuk datang dan berdamai dengan para relawan, tapi hasilnya ... itu tadi. Nggak berhasil."

"Jadi di Gardu 1 dan 2 ngga ada tenaga medisnya?"

Dewi menggeleng, "Gardu kita ini, titik pertama. Jika ada warga terluka dari Gardu 1 atau 2 yang masih mencakup wilayah Dusun Mojoarto, anggota TNI langsung membawanya kesini."

Tidak ada pembicaraan lain setelahnya itu, aku dan semua relawan berkutat dalam pikiran masing-masing di balik tenda persembunyian hingga riuh di halaman depan sudah mulai mereda. Anggota TNI menghampiri kami berkata bahwa kondisi sudah aman, satu persatu dari kami keluar dari persembunyian.

Aku melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan, pukul delapan malam. Buru-buru aku masuk tenda dan mengambil ponsel, ada beberapa panggilan tak terjawab dari Mas Wildan.

Aku langsung menekan panel panggil untuk menelponnya balik. Beberapa deringan terdengar sampai akhirnya panggilan diterima.

"Assalamualaikum, Mas?"

"Halo, Walaikumussalam." Bukan suara Mas Wildan, tetapi suara perempuan.

"Ini siapa ya?" tanyaku langsung.

"Maaf, Mbak. Ponselnya dokter Wildan ketinggalan di ruang dokter, saya mahasiswi bimbingannya."

"Oh, begitu. Kalo boleh tau Dokter Wildan sedang ke mana? Lagi di ruang operasi?"

"Barusan pulang, ini saya mau memberikan ponselnya. Mungkin beliau masih di koridor."

"Oh, ya udah, saya tutup, ya. Terimakasih sebelumnya, Assalamualaikum..."

[DSS 5] DEAR ALLAH 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang