Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah."
(QS Al Hadid: 22)•••
Ninna Lestari pernah menuliskan sebuah kutipan tentang takdir, menurutnya takdir itu lucu. Ada caranya mempertemukan dua orang yang tak punya urusan dengan cara yang seolah kebetulan. Begitu pula dengan Galih Aditya menuliskan takdir terkadang meleset jauh dari apa yang kita pelajari. Dan satu kutipan lagi yang pernah aku baca, daripada menyalahkan takdir yang tak terduga, lebih baik kita menerima sembari belajar apa yang kita dapat dari takdir tersebut.
Seperti takdir yang kuterima pagi ini. Sekitar ba'da subuh, gempa bergetar di bumi yang kita pijak. Semua orang berhamburan keluar, para tentara, anggota basarnas dan relawan medis bersiap-siap dengan alat tempur masing-masing karena ada kabar mengatakan tanah di Dusun Mojoarto yang berada di atas bukit mengalami longsor susulan. Ada beberapa warga yang terjebak di sana. Warga yang mengeyel tidak mau pindah dari rumahnya.
Takdir yang seharusnya membawaku pulang hari ini, terbatalkan karena musibah ini. Di antara sinar pagi yang perlahan muncul, aku berdebat dengan Mas Wildan.
"Kamu bisa membayar hari yang kurang dari nazarmu dengan kaffarah, Naira, ayo kita pulang sekarang." Mas Wildan mencengkeram dua pundakku.
"Kamu lupa sumpahmu sepuluh tahun yang lalu? Kita tenaga medis dilarang mengedepankan kepentingan pribadi diatas kepentingan pasien. Mas, nuranimu di mana?"
Aku tahu Mas Wildan hanya takut terjadi apa-apa denganku, tetapi ini sangat mendesak. Korban-korban bencana ini juga punya hak ditolong, mereka juga manusia yang punya rasa takut. Meski pada awalnya mereka membenci kami, tidak menjadikan alasan untuk kami tutup mata atas musibah yang terjadi kepada mereka. Mungkin inilah cara Allah membuka mata dan batin para pengungsi yang sempat berbuat jahat kepada relawan medis.
Kami saling bertabrak pandang, sama-sama kuat dengan pendapat masing-masing. Aku tidak mungkin meninggalkan mereka, aku juga tidak mau durhaka kepada suami. Sebisa mungkin aku meyakinkan Mas Wildan agar mau memberikan ridhonya dan mengizinkanku melaksanakan tugas kemanusiaan.
"Nai ..."
"Aku tahu, Mas, kamu cuma takut terjadi apa-apa denganku. Tapi ini sudah menjadi risiko kita, kan? Kita adalah perantara tangan Tuhan untuk membantu mereka. Kita tidak bisa menutup mata dan lari dari tanggung jawab ini. Tanggung jawab yang akan dipertanyakan nanti di akhirat."
Pandangan Mas Wildan menyiratkan kebingungan, seolah berdiri di atas persimpangan jalan memintanya memilih jalan mana yang harus dia utamakan, antara keluarga dan rasa kemanusiaan.
"Setelah mereka terselamatkan dan aman, aku janji akan segera pulang. Tinggal lima hari lagi, Mas. Tolong, tunggu aku sebentar lagi. Hm?" Aku menatapnya dengan penuh harap, "kamu sendiri yang bilang bahwa Allah akan selalu menjagaku. Aku yakin Allah akan menjagaku, menjaga keluarga kita."
Perlahan pegangan erat tangan Mas Wildan mengendur dari pundakku, pandangan matanya menunduk sampai akhirnya dia mengangguk memberiku izin untuk melaksanakan tugas kemanusiaan.
"Oke, Nai, aku mengizinkanmu. Tapi, ingat jangan terlalu berani lagi, jangan sok berani lagi. Kamu bukan superhero, kamu adalah ibu dari anak-anakku. Mereka juga sangat membutuhkanmu."
Aku menggangguk sambil tersenyum lalu memeluknya sebentar, "Terima kasih, Mas. Aku tahu kamu percaya sama aku."
"Selalu," ucapnya, "aku pulang besok, aku akan membantu kalian mengevakuasi korban yang terjebak."
KAMU SEDANG MEMBACA
[DSS 5] DEAR ALLAH 2
RomanceKehidupan rumah tangga Wildan dan Naira begitu harmonis dengan kehadiran zuriat yang mereka nanti-nanti. Karena janji yang pernah terucap oleh bibir Naira, wanita itu harus berpisah untuk ke dua kalinya dengan sang suami. Ternyata perpisahan sement...