Aku keluar dari tenda setelah mendengar keributan di tenda relawan ikhwan. Semua orang tampak berkerumun di depan tenda. Dadaku berdebar mungkinkah ada bentrok kembali dengan warga desa?
"Ada apa, Wi?" tanyaku pada Dewi yang baru saja berlari dari arah dapur umum.
Belum sempat Dewi menjawab, kerusuhan itu terjawab saat mataku menangkap sebuah kejadian baku hantam antara Jamal dan Haikal. Haikal menarik kerah baju Jamal sambil melayangkan beberapa bogeman mentah kearah wajah Jamal. Jamal pun tak tinggal diam, dia juga melayangkan bogeman balasan kearah Haikal.
"Bangsat, anjing!" mereka saling mengumpat.
Empat tentara dan bapak-bapak mencoba melerai mereka. Aku berdiri di antara kerumunan warga dengan perasaan cemas. Entah apa yang membuat mereka yang setahuku teman karib menjadi saling melayangkan tinju dan umpatan.
"Bajingan lo, Mal!" umpat Haikal meski sudah dilerai.
"Lo pengecut, anjing!" balas Jamal.
Masing-masing tentara memegangi tangan keduanya agar tak terjadi baku hantam kembali. Aku berinisiatif menengahi, aku mengenal mereka berdua adalah orang yang baik. Tidak baik juga dilihat para pengungsi.
"Udah, udah, kalian kenapa sih? Bisa, kan dibicarakan baik-baik, nggak harus pake kekerasan!"
"Bilang sekarang, Kal! Bilang kalo lo bukan pengecut! Bilang sekarang di depannya!"
"Ada apa sih? Udah, udah, Pak, tolong mereka dijauhin aja sementara. Biar mereka tenang dulu," saranku.
"Memang kalo lo suka sama istri orang, dosa lo di mana? Lo cuma suka, gak berusaha merebutnya!"
Deg! Aku langsung tercengang dengan perkataan Jamal barusan. Apakah yang menjadi sebab mereka berantem adalah aku? Apakah yang dimaksud Jamal adalah aku?
Aku membeku di tempat sekian detik.
"Bukan urusan lo ya!"
"Bilang, anjing!"
"Stop! Stop! STOP!" Aku meninggikan suara untuk menghentikan mereka, aku tidak mau masalah ini semakin runyam apalagi jika masalah itu dipercik atas namaku.
"Dengerin kalian berdua! Aku memang tidak tahu apa masalah kalian sampai bisa ribut seperti ini. Tapi, tolong kalian jangan merusak citra relawan di sini! Emangnya kalian nggak malu di lihatin banyak warga, ha? Kalian orang berpendidikan, kan? Kalian masih punya urat malu, kan?"
Aku melempar pandangan kesal secara bergantian kearah Haikal dan Jamal. Wajah Haikal yang semula merah padam berangsur tampak menyesal, bahkan dia sempat berekspresi terkejut. Mungkin ini baru pertama kalinya dia melihatku semarah dan selantang ini berbicara.
Selain karena malu dilihat para warga, aku juga marah karena paham titik permasalahan mereka ribut karena melibatkanku. Aku mulai mengerti sebabnya, karena kemarin Jamal memberitahuku tentang masa lalu Haikal. Pasti hal itu juga yang membuat Haikal berang.
"Aku benar-benar kecewa sama kalian!" pungkasku sembari mengambil langkah untuk pergi dari kerumunan.
Sebagai tenaga medis, kita dilarang untuk mencampur urusan pribadi dan pekerjaan, apalagi ribut di depan pasien. Mereka berdua sama-sama melanggar kode etik yang bisa saja kena pinalti. Bisa-bisanya mereka tidak dewasa seperti itu.
Ingatanku jatuh pada kejadian Mas Wildan dan Genta yang berantem di lorong rumah sakit beberapa tahun yang lalu. Genta tidak terima karena Mas Wildan tetap mencari Zulfa dan akan menceraikanku. Untung saja pada waktu itu ada Aryan. Aku tidak habis pikir, kenapa kebanyakan para pria memilih baku hantam untuk menyelesaikan masalah.
KAMU SEDANG MEMBACA
[DSS 5] DEAR ALLAH 2
Storie d'amoreKehidupan rumah tangga Wildan dan Naira begitu harmonis dengan kehadiran zuriat yang mereka nanti-nanti. Karena janji yang pernah terucap oleh bibir Naira, wanita itu harus berpisah untuk ke dua kalinya dengan sang suami. Ternyata perpisahan sement...