8. Rasa Khawatir

16.5K 2K 437
                                    

"Dear Allah, hamba percaya Engkau adalah sebaik-baiknya Maha Pelindung, lindungi kami, lindungi rumah tangga kami."

•••

Wildan mencoba menghubungi Naira karena terakhir istrinya itu mengabari situasi di posko kurang begitu kondusif karena konflik dengan pengungsi. Beberapa hari ini Wildan sangat khawatir dan berpikir untuk menyusul Naira, namun pekerjaannya sebagai dokter bedah tidak bisa ditinggalkan. Bahkan, hari ini dia menjalani empat operasi SC dalam satu shift.

"Kenapa ente, Dok?" tanya dr. William yang baru masuk ke ruangan dokter.

Wildan membenarkan posisi duduknya, menurunkan sedikit bahunya yang tegang. Cangkir berisi kopi itu diseruput sedikit sebelum akhirnya menjawab pertanyaan rekan kerjanya itu, "Kepikiran istri."

"Oh, ya, kapan Ners Naira balik? Udah dua minggu, kan ya?" tanya dr. Willian sembari menghidupkan mesin pembuat kopi otomatis.

"Iya. Terakhir mengabari seminggu yang lalu katanya ada konflik sama pengungsi. Aku menyuruhnya untuk pindah Gardu, tetapi tau sendirilah gimana gigihnya istriku kalau udah niat nolong orang."

dr. William mengangkat cangkir yang sudah terisi kopi kemudian berjalan menuju meja Wildan dan bersandar di sana, "Betul, saya salut sama Ners Naira. Baiknya kebangetan. Tapi, ya, Dok, baik banget itu kadang malah membunuh diri sendiri. Saya khawatir karena nurani Ners Naira yang terlalu baik, malah membuatnya celaka."

Deg! seperti ada sentilan kecil di hati Wildan namun terasa sangat mengganggu. Selama ini dia juga berpikir demikian, istrinya itu terlalu memprioritaskan orang lain di atas dirinya sendiri. Tidak peduli bahwa tindakan yang diambil bisa membuatnya tertimpa masalah. Seperti kasus perawat VIP beberapa tahun silam atau masalah ketika Zulfa datang di dalam rumah tangga mereka. Naira terlalu baik, terlalu menerima dan terlalu ikhlas demi kebahagiaan orang lain meksi dirinya sendiri sangat terluka.

"Kalau aku nyusul gimana ya, Dok?"

"dr. Angel belum selesai cuti melahirkan, masih satu minggu lagi. Kalau nggak ada ente, siapa yang mau bedah perut ibu-ibu? dr. Ryan?" jawab dr. William sambil menyeruput kopinya.

Sungguh Wildan dilema, dia sangat mengkhawatirkan sang istri hingga rasanya sesak jika memikirkannya namun di sisi lain ada tanggung jawab yang harus dia laksanakan. Satu-satunya jalan keluar adalah mendoakan sang istri di setiap waktu. Semoga Allah senantiasa menjaga sang istri dari sakit, derita, luka dan fitnah. Dua minggu terasa seperti dua abad, Wildan begitu merindukan Naira.

"Nggak pulang?"

"Iya sebentar lagi."

"Besok jangan lupa datang di seminar, katanya ada Profesor Noto, mantan dosen tercintamu itu," kata dr. William sambil berjalan menuju pintu.

"Siap, insyaallah."

dr. William keluar dari ruang dokter meninggalkan Wildan yang masih termenung memikirkan sang istri. Ada notifikasi pesan masuk, dari ibunya memberitau bahwa Yasmin sedang menangis mencari abinya. Buru-buru Wildan bergegas membereskan barang-barangnya dan segera beranjak pergi dari ruang operasi.

"Eh, Dokter Wildan, mau pulang?" tanya Shila ketika pintu lift terbuka, mereka berpas-pasan di depan pintu lift.

Wildan mengangguk sambil tersenyum takzim dan segera masuk ke dalam lift, sementara Shila dan dua temannya keluar dari lift.

"Tunggu sebentar, Dok." Tahan Shila.

"Iya?"

"Gimana masakan saya? Enak?" tanya Shila tiba-tiba yang tentunya membuat Wildan sedikit terkejut, bukan hanya Wildan tetapi dua teman Shila juga bereaksi serupa, terkejut.

[DSS 5] DEAR ALLAH 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang