9. Ruang Salah Paham

21.6K 2.2K 631
                                    

Di update kali ini saya meminta temen-temen berkenan mengirim Al-fatihah kepada salah satu Sahabat Diana Febi, yakni Kak AyuZamia yang telah mendahului kita beberapa bulan yang lalu ditengah perjuangannya melahirkan buah hati kembarnya.

Almarhumah pembaca saya sejak saya debut menulis Dear Allah 1. Almarhumah penikmat karya saya. Mari luangkan waktu sejenak mengirim Al-fatihah kepada Almarhumah semoga Surga menjadi tempatnya, diterimanya amal ibadahnya dan dilapangkan kuburnya.

Al-fatihah ... 🌹🌹🌹

"Surga menantimu, Kak. Semoga kita bisa bertemu di sana, ya. 🌹"

•••

"Dear Allah,  jika ujian adalah bentuk cinta-Mu kepada hamba, hamba terima bentuk cinta itu dengan lapang dada dan ikhlas."

•••

"Alhamdulillah," ucapku syukur setelah usaha kami para perawat dan dokter berhasil menyelematkan salah satu pengungsi yang tiba-tiba gagal jantung, alhamdulillah lagi tidak perlu menggunakan alat karena usaha kami RJP membuahkan hasil. Bisa tidak bisa, malam ini juga pasien tersebut harus dievakuasi ke pelayanan kesehatan terdekat.

"Kamu ikut antar, Nai?" tanya Dewi.

Aku bingung memutuskan karena banyak hal yang harus aku pertimbangkan, salah satunya tenagaku yang sudah terkuras habis sejak pagi. Tetapi, aku sudah bersumpah atas nama profesi, mau tidak mau, sanggup tidak sanggup, aku harus mengutamakan keselamatan pasien.

"Saya saja yang antar," suara bariton muncul dari arah belakang kami. Baru saja aku mau memberi jawaban kesanggupan, Haikal lebih dulu menawarkan.

"Beneran? Tapi, kita juga butuh perawat senior untuk mendampingi," kata Dewi.

"Saya sanggup tanpa perawat pendamping, Mbak Dewi tidak bisa melihat Kak Nai sudah sangat keletihan? Perjalanan sangat jauh, medannya juga berat. Saya tidak mau mengambil risiko jika ada relawan yang tumbang," jawab Haikal.

Dewi menoleh kearahku, sepertinya dia memperhatikan setiap jengkal yang ada pada diriku, membenarkan perkataan Haikal barusan. Kemudian Dewi menghadap kearah Haikal lagi, "Ajak si Jamal itu, jangan sendirian. Ayo, Nai mempersiapkan pasiennya."

Aku menerima putusan mereka, aku juga bersyukur karena bisa istirahat setelah ini meski harus siaga sampai pagi menjaga para pengungsi baru, takut hal seperti tadi terjadi lagi.

"Kak Nai, tunggu," cegah Haikal.

"Iya?" Aku menghentikan langkahku, melihat raut wajahnya sepertinya ada hal penting yang ingin dia sampaikan, aku melepas pegangan tangan dari Dewi, "Wi, kamu duluan, ya. Bentar lagi aku nyusul."

"Oke." Dewi berjalan kearah tenda pengungsi lebih dulu.

"Iya, Kal, ada apa?"

"Ini..." Haikal mengulurkan benda pipih kearahku yang kukenali benda itu adalah milikku, "Loh, ponselku? Kenapa ada di kamu?" tanyaku seraya meraih ponsel itu dari uluran Haikal.

"Tadi pas kita nggak sengaja tabrakan, Kak Nai nggak sadar ponselnya jatuh. Waktu aku panggil Kak Nai, Kakak udah nggak denger keburu masuk ke tenda pengungsi," penjelasnya.

Aku bernapas lega, aku bersyukur ponsel ini tidak hilang. Bisa-bisanya aku baru ngeh kalo ponselku jatuh, Astaghfirullahaladzim. "Makasih, ya, Kal. Untung ada yang nemuin."

"Tapi, maaf, Kak," ucap Haikal tiba-tiba.

"Iya? Kenapa?"

"Waktu ponselnya jatuh ada panggilan dari suami Kak Nai, waktu aku panggil Kakak buat balikin ponselnya, saya nggak sengaja pencet panggilan diterima. Jadi, maaf, saya lancang menerima panggilan telepon di ponsel Kak Nai," ucap Haikal dengan raut wajah penuh penyesalan.

[DSS 5] DEAR ALLAH 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang