26. Duel Hidup dan Mati

16 7 3
                                    

1846 word

Berita tentang seorang manusia—yaitu aku—berduel melawan Vampir ras murni telah menyebar di seluruh penjuru negeri Vampir. Banyak Vampir mengerumuni arena simulasi perang istana—aku tahu ini dari Vampir yang kebetulan lewat dan bergosip. Kebanyakan penasaran tentang jati diri Vampir ras murni—yang katanya disegani oleh semua Vampir dan kedudukannya lebih tinggi dari keluarga kerajaan, dan sisanya kepo tentang siapa manusia yang berani bertarung melawannya.

Aku gugup, tentu saja. Kemampuan bela diri yang nol besar, juga fisik yang rentan terluka ... benar-benar persiapan yang buruk. Hanya berbekal baju zirah dan katana yang beraaat banget. Tanpa kekuatan apapun lagi, aku harus menghadapi Augi.

Ku tarik napas, dan mengeluarkannya, berusaha tenang. Oke Mikha, kau harus berani. Bukankah sebelumnya kau pernah melawan Ogre—walau akhirnya diselamatkan oleh Augi?

Lagi-lagi menyematkan nama Augi diakhir kalimat. Aku gak pernah menyangkal kalau Augi memang selalu melindungiku. Bahkan kalau perlu, aku akan menceritakannya pada seluruh dunia. Ketika sedang dalam bahaya, dia datang membantu. Saat terluka, dia mengobatiku dengan telaten. Sekarang, aku harus duel satu lawan satu dengan makhluk yang selalu menolongku?

"Mikha, waktunya untuk pergi ke arena perang." Suara wanita paruh baya, pelayan kerajaan mengagetkanku dari lamunan. Aku mengangguk lemas, dan pergi meninggalkan kamar.

Dulu aku cemas dengan nasib darahku saat berhadapan dengan Vampir, sekarang gak lagi. Pihak kerajaan mengancam siapapun yang lancang mengambil darahku, akan diberi hukuman mati.

Namun, aku harus menghadapi hal yang lebih menakutkan dari itu.

Secercah cahaya terang menyilaukan mata hadir, hingga terpaksa harus memejam. Lama kelamaan mata ini terbiasa dengan cahaya di depan. Aku membuka mata, dan pemandangan pertama yang terlihat adalah banyaknya Vampir yang bersorak di bangku penonton, juga arena yang terlihat seperti Colloseum di Italia.

Padahal hanya duel satu lawan satu, kenapa tempatnya sebesar ini?

Dari sisi arena yang lain, aku melihat Augi yang mengenakan baju zirah yang sama denganku. Bedanya, warna bajuku hitam, sedangkan dia merah gelap. Kami berdua saling mendekat, dan Augi mengatakan sesuatu.

"Siap?" Augi menyunggingkan senyum miring, membuatnya berkali-kali lebih menyebalkan di mataku.

"Aku siap. Siap mati maksudnya," balasku, tersenyum kecut.

Augi terkekeh pelan. Dia melepaskan katana dari sarungnya. Melihatnya, aku melakukan hal yang sama, karena gak tahu harus melakukan apa.

"Saudara-saudara Vampir sekalian, nampaknya kedua petarung sudah siap. Mari kita beri sorakan semangat untuk mereka berdua!!" Suara moderator yang menggelegar terdengar di telinga. Selanjutnya, terdengar sorakan semangat dari para penonton, membuat energi dalam diriku melonjak begitu keras. Ayo Augi, aku sudah siap!

Aku dan Augi saling bertatapan. Dia menatapku dengan pandangan remeh dan menyebalkan, membuatku ingin sekali pites dia.

Srangg!!

Augi mengayunkan katana ke arah kanan, tepat di samping bahu. Beruntung bisa menghindar ke arah yang berlawanan, jadi dia hanya menebas angin.

Baru saja aku menarik napas, Augi kembali menyerang. Kali ini dia terus melihat bahuku. Sepertinya dia mengincar bagian itu. Kulindungi bahuku dengan sekuat tenaga sementara Augi terus mengayunkan katana ke berbagai arah secara acak. Saat aku menghela napas lega, dia menebas pinggang. Luka mengaga begitu lebar, darah mengalir deras, membuatku mengaduh kesakitan.

WHEN MOON AND STARS SHAPE MAGIC ELEMENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang