1. Suatu Kejanggalan

400 78 105
                                    

1365 kata

Seperti pagi-pagi sebelumnya, pagi ini—dengan nyawa yang kurang lengkap—aku bangkit dari zona nyaman—tempat tidur, tak lupa membereskannya. Lalu, dengan langkah lunglai berjalan menuju kamar mandi dan melaksanakan rutinitas di sana. Setelah itu mengenakan seragam sekolah, sarapan, dan berangkat sekolah menggunakan bus sekolah. Simpel, bukan?

Aku terlihat mandiri? Ya, memang kenyataannya seperti itu. 2 tahun yang lalu ibu meninggal dunia dan ayah menikah dengan perempuan lain. Ayah memang mengajak untuk satu atap dengan perempuan itu, tapi aku menolaknya. Aku lebih menyayangi ibu sampai kapanpun walau ada kehadiran orang lain yang menggantikan tugasnya. Meski menolak untuk tinggal satu rumah, aku tetap diberi uang untuk keperluan sekolah dan lainnya. Akhirnya ayah dan perempuan itu tinggal di rumah barunya sedangkan aku tinggal di rumah ibu.

Aku hidup dalam lingkungan kekayaan yang melimpah. Ayah merupakan seorang CEO di salah satu perusahaan besar Indonesia, dan ibu seorang profesor di bidang kedokteran yang mengabdi pada negara. Namun walaupun begitu, aku merasa hidupku biasa saja, tak ada yang istimewa.

Aku bosan, bosan dengan hidup yang ini-ini saja. Aku menginginkan pengalaman hidup yang tidak bisa dilupakan, bukan hidup monoton seperti ini.

"Mikha!!!" teriak temanku dari belakang secara tiba-tiba, membuatku ingin menyumpalnya dengan kembang tujuh rupa.

"Iya ada apa, Ca? Berisik amat, heran. Ini tuh masih pagi, dan kamu buat pagi ini jadi rusak dengan suara toamu," cerocosku menceramahi Meisya—sahabat plus teman sebangku.

Aku menggeser bangku agar sedikit lebih jauh darinya. Aku masih sayang telinga, ngomong-omong. Untung suasana kelas sedang sepi karena istirahat, jadi kawan sekelas bebas dari toa berjalan. Kecuali aku tentunya.

"Hehe, mangap deh mangap," Meisya menyengir sambil memberikan jempol kanan padaku. Aneh.

"Maaf, ogeb!!!" bentakku membuat Meisya terkejut. Aku terdiam, mata terbelalak lebar menyadari kata kasar yang barusan keluar dari mulut. "Eh maaf, Ca. Aku enggak bermaksud ngomelin kamu. Sumpah deh, tadi aku kelepasan ngomong kasar." Aku berkata lirih, memohon kepada Meisya agar ia memaafkanku.

Meisya—yang biasanya dipanggil Ica—mengangguk paham, "it's oke, aku paham kok kalau mood-mu lagi buruk." Aku membenarkan perkataan Meisya dengan anggukan kepala.

Kami berdua terdiam beberapa saat, sampai hening mendominasi. Tanpa disangka Meisya menepuk bahuku dan menanyakan satu hal. "Emang apa sih yang membuatmu seperti ini, Mikha?" tanyanya dengan raut heran.

Aku menghela nafas berat. "Aku bosan," jawabku singkat.

Meisya mengernyit bingung. "Bosan kenapa?"

Embusan napas berat terdengar lagi di telinga. Gara-gara itu, Meisya tambah bingung, terlihat dari ekspresinya. 

"Aku bosan, mengapa hidupku monoton, gini-gini saja? Enggak ada perubahan yang berarti. Aku ingin, sekali saja merasakan pengalaman hidup yang mengesankan."

"Oh," balas Meisya.

Mendengar jawaban yang singkat itu, aku mendelik kesal padanya.

Sabar Mikha, sabar. Itu temanmu loh, jangan kau santet dia.

Meisya menatapku, mungkin karena merasa bahwa ia yang membuat aura semakin mencekam. Dia yang semula tertawa langsung mengalihkan pembicaraan. "Eh Kha, tadi aku lihat di perpustakaan ada novel baru tuh, fantasi lagi. Mau pinjem, gak?"

Mendengarnya, membuat jiwaku seratus persen merasa hidup kembali dan penuh semangat.

"Yang benar, Meisya? Ayo cepat ke perpustakaan! Cepat!!! Novel baru, aku daaataaanggg ...." Bersorak gembira, sampai-sampai tangan dia pun ikut terbawa olehku untuk diajak lari-lari.

WHEN MOON AND STARS SHAPE MAGIC ELEMENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang