28. Pernyataan Perang

7 5 2
                                    

2350 Word

Cahaya ungu keputihan yang mengelilingi kami menghilang perlahan. Makin menyusut, makin dapat melihat dengan jelas di mana kami berada. Ternyata teleportasi ke istana penyihir putih berhasil! Ratu Leyshi memandang kami dengan raut bahagia di atas singgasananya.

Aku menatap sekeliling, khawatir apabila Azhula berhasil menyusul kami. Augi dan Barkah melakukan hal yang sama.

Syukurlah, tidak ada kakek tua itu.

Aku masih gak nyangka kalau Azhula si penemu sihir beralih haluan ke sihir hitam. Padahal dia tahu, kalau sihir hitam adalah sihir yang berbahaya yang tercipta dari kecerobohan dirinya sendiri. Apa yang dijanjikan sihir hitam padanya? Keberadaan dia membuat apa yang akan kami lakukan nanti, terancam gagal. Pasti dia bakal mengerahkan pasukan penyihir hitamnya untuk itu.

"Selamat datang kembali, wahai pahlawan Immortal." Kak Leyshi membungkukkan badan pada kami dengan anggun dan hormat. Aku—ralat, kami—bingung mau jawab apa. Melihat ratu merendahkan diri pada kami jadi merasa bersalah. Harusnya kami yang bersikap seperti itu padanya.

"T-terima kasih untuk sambutannya, Yang Mulia Ratu Leyshi Schulze," balas pangeran Barkah dengan sedikit kecanggungan. Dia mendekati kak Leyshi. Berlutut dan meraih tangan kakak, lalu yang terakhir, mengecupnya.

Apa ini cara bangsawan pria menyapa wanita kerajaan? Aku baru tahu.

Augi melakukan hal yang sama. Namun sebelumnya ia mengubah diri menjadi Vampir, sesuai jati diri yang sebenarnya.

Aku cuma jadi penonton di sini.

Tiba-tiba kak Leyshi menatapku dengan air mata berlinang. "Mikha, kamu tidak merindukan kakak?"

Mendengarnya, air mataku nyaris tumpah. Aku kangen sama kakak!

Langsung saja menghampiri dan memeluk kakak. Ku tumpahkan segala unek-unek yang ada lewat air mata dan pelukan ini. Kak Leyshi juga sepertinya ingin menangis, terbukti dari bahunya yang bergetar hebat. Namun imejnya sebagai ratu harus dijaga, apalagi ada makhluk lain di ruang singgasananya.

"Gimana perjalananmu? Lancar?" tanya kak Leyshi ditengah sesi pelukan. Suaranya sedikit bergetar, makin membuktikan kalau dia ingin menangis.

"Lancar, walaupun ada beberapa halangan." Aku semakin membenamkan diri di pelukan kakak. "Ngomong-ngomong, nangis mah nangis aja, kak. Jangan ditahan gitu. Mentang-mentang jadi ratu, gak boleh nangis, gitu?"

Kak Leyshi tertawa pelan, disusul kekehan duo Vampir yang sedari tadi menonton drama sinetron temu kangen tanpa direncanakan ini. Kakak melepaskanku dari pelukannya, memegang bahuku.

"Jadi ratu itu harus kuat, Mikha. Seorang ratu akan selalu dihadapkan pada situasi sulit, walau ditengah bahagia sekali pun." Kak Leyshi memasang senyum tulus, membuatku resah dan—sedikit—merasa bersalah.

"T-tapi ... ratu juga punya perasaan. Jadi gapapa kalau sekali-kali menangis karena merindukanku, misalnya."

Kudengar Augi membuat suara orang sedang muntah. Aku menatapnya dengan tajam, lalu mereka bersikap seolah-olah tak terjadi apa-apa.

Kak Leyshi kembali tertawa dengan air mata yang lolos menyusuri pipi putih bersih miliknya. Dia mencubit pipiku dan memainkannya. Berkali-kali aku berusaha melepaskan tangannya, tapi selalu gagal.

"Kamu memiliki percaya diri yang tinggi, ya," ungkap kak Leyshi, lalu tertawa lagi. "Namun itu yang menjadikanmu menjalani misi tanpa terluka sedikitpun."

Gak terluka apanya? Aku nyaris saja dipenggal Augi, menabrak duri-duri mawar hitam, lari-larian sama pohon raksasa sampai tergores semak-semak, kepeleset dari pohon berbentuk manusia, harus menghadapi napas Ogre yang baunya minta ampun, dan lainnya.

WHEN MOON AND STARS SHAPE MAGIC ELEMENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang