20. Ayo! Jangan Banyak Basa-basi!

44 21 6
                                    

1052 Words

Akhirnya, induk tujuh tanaman khas Dyrad mengizinkanku untuk menyapa anak-anaknya-mengambil sebagian tubuhnya untuk kepentingan dua dunia.

Tapi, aku bingung.

Dimana letak si Pohon menyimpan anak-anaknya?

"Tujuh tanaman khas Dyrad tidak dapat dilihat oleh mata telanjang, Mikha. Kau harus menggunakan mata hatimu untuk melihat dan mengunjunginya. Hanya orang berhati murni dan baik hati lah, yang bisa melakukan hal itu."

Kata Ratu Dichlyn-ratu Dyrad, saat aku membereskan halaman sekitar si Pohon.

Sekarang malam hari, di aula istana terlihat bintang-bintang bersinar dengan cerahnya. Namun aku tahu ini hanya imitasi. Alam semesta yang sebenarnya sedang membunuh diri sendiri karena pengaruh sihir terkutuk. Lalu bumi akan menyusul, di hari ke-14.

Di sampingku ada Augi, dia ikut mengamati bintang imitasi. Tidak ada percakapan diantara kami berdua, sampai akhirnya jiwa gak-betah-diam-dalam-tubuhku memberontak.

"Augi. Kamu tahu tidak, kalau itu bintang imitasi?" tanyaku pada Harpy di sampingku. Sungguh aku tak punya topik apapun untuk dibicarakan, jadi aku menanyakan hal itu saja.

"Imitasi?"

"Bohongan. Bukan asli."

"Ohh ...."

Ingin ku mencabut satu bulunya, satu ... saja. Tapi nanti dia ngambek. Musuhan.

Otomatis, aku terkurung di sini selamanya. Melihat dengan jelas sebuah kiamat di dunia orang. Setidaknya walaupun kiamat, aku ingin merasakannya di duniaku sendiri, bukan di negeri antah berantah bernama Immortal ini.

Augi bergumam tak jelas. Dia menyugar rambutnya yang indah itu. Untung aku tidak tergoda.

"Iya, aku tahu bintang-bintang di atas itu bohongan, para Dyrad kadang memasang lampu berbentuk bintang, yang dibeli dari penyihir."

Dahiku mengernyit. "Hah, penyihir? Mereka buat lampu bintang itu sendiri, kah?" tanyaku.

Augi menggeleng. "Tidak. Mereka membeli lampu itu dari manusia."

Hah, manusia? Kukira para penyihir membuatnya sendiri.

Aku membayangkan lampu bintang itu berukuran kecil, lalu berwarna-warni, diletakkan di atap-atap, seperti di kamarku.

Plus, ada perekat untuk merekatkan lampu bintang tersebut ke tempat yang ingin ditempeli.

Ya ... begitulah.

"Kamu lagi halusinasi?" Augi bertanya. Ia menengok diriku lumayan lama. Dan sialnya, aku malah ikut menatapnya lama. Jadi seperti adu tatap. Siapa yang kedip duluan, dia kalah.

Mungkin Augi sadar kalau perbuatan tadi sangat berbahaya untuk kesehatan jantung dan berbagai organ lainnya hingga akan mengakibatkan berbagai komplikasi, ia lalu memutus kontak matanya padaku.

"Iya, aku lagi ikut tukang bubur buat halusin nasi."

Mata Augi menyipit. "Emang bubur itu apa? Kok dia bisa halusinasi? Jawab aku, Mikha."

Astaga Augi. Kalau sudah begini, aku malas untuk menjelaskan, karena ujung-ujungnya pasti berdebat.

"Gak. Gak jadi," jawabku. "Oh ya ngomong-ngomong, kamu tau gak dimana ratu Dyrad sekarang?" aku mengalihkan topik pembicaraan dengan bertanya seperti itu.

"Kayaknya di ruang singgasana deh." Augi menjawab sambil celingak-celinguk. Aku suka ekspresinya saat bertingkah seperti itu. Dalam pandanganku, dia terlihat puluhan kali lebih lucu.

WHEN MOON AND STARS SHAPE MAGIC ELEMENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang