3. Mencoba Untuk Tak Acuh

141 61 38
                                    

1108 kata

Fajar menyingsing disertai orkestra alam yang menenangkan hati. Suara ayam peliharaan yang berkokok lantang seakan menjadikan alarm bagiku untuk bangun dari tempat tidur.

Perlahan aku membuka mata, lalu duduk dan diam mematung, berusaha mengumpulkan niat untuk meninggalkan kasur sebagai zona nyaman.

 Setelah kesadaran pulih seratus persen, aku langsung bangkit menuju rak, dan memeriksa novel semalam. Membuka satu persatu lembaran dengan pelan, takut jadi rusak dan diteror lebih parah lagi. 

Huft ... untung tak ada hal-hal aneh lagi di buku ini.

Segera aku kembali menyimpannya di rak buku, diberi penanda agar bisa membedakan buku itu dengan buku yang lainnya dengan sekali lihat. Dengan langkah riang aku melakukan berbagai rutinitas sebelum berangkat sekolah.

Semua sudah siap. Waktunya berangkat!

Meninggalkan rumah dan berjalan menuju halte bus sekolah. 5 menit menunggu, akhirnya bus sekolah pun datang.

Di saat aku sedang mencari kursi yang nyaman untuk diduduki, aku menemukan Meisya yang duduk di kursi dekat jendela sambil memejamkan mata. Karena kursi sebelah Meisya kosong, aku putuskan untuk duduk di sana.

Aku duduk dan bertanya kepada Meisya.

"Ica, tumben kamu berangkat naik bus? Supir pribadimu lagi cuti?" tanyaku. Namun tak dibalas apapun oleh Meisya.

"Ica? Ica? Icaaaa ...," panggilku dengan nada yang berbeda-beda, dari paling tinggi sampai rendah. Namun Meisya tetap saja tak membalas. Ia masih memejamkan matanya.

Huh! Padahal aku sampai kena tatapan menakutkan penumpang lain, tapi dia tak kunjung menyapa balik.

"Meisya!!! Perhatikan ke depan! Jangan kau terus-terusan mengobrol dengan Mikha!" ucapku sedikit berteriak dengan menggunakan intonasi seperti guru yang sedang memarahi muridnya. Tak lupa aku menggunakan namaku sendiri agar Meisya bangun dan tertawa mendengarnya.

Tapi nihil. Meisya tak kunjung membalas panggilan. Apakah jiwa pelawakku mulai hilang?

Geram, akhirnya aku menyibak rambutnya yang tergerai menutupi telinga. Pantas saja! Ternyata Meisya memasang earphone di telinga, juga menyalakan musik dengan volume keras sampai terdengar di telingaku juga. Tanpa perlu dikomando, langsung aku cabut earphone itu. Akhirnya, dia membuka mata.

"Kamu ngapain sih, Mikha? ganggu orang lagi ngemusik aja," gerutu Meisya kesal. Bibirnya mengerucut disertai alis yang menukik.

Lucu sih, tapi pengen nabok juga.

"Bukan ganggu, tapi masa kamu dengerin musik dengan volume full, sih? Ditambah aku manggil kamu, tapi enggak dijawab sama sekali."

Meisya tertawa dengan watados—wajah tanpa dosa. "Masa?? Kalau gitu maaf deh, hehe."

Kemudian Meisya menyengir, dengan salah satu tangan membentuk peace.

Aku mendengus mendengar ucapannya. Tinju telah terkepal, siap menghantam target.

Namun, aku mendapat tatapan tajam dan tak menyenangkan dari penumpang di sampingku. Malu, akhirnya niat itu diurungkan.

Dasar, untung sahabat.

🍃🍃🍃

"Mikha, tumben kamu enggak bawa buku itu?" tanya Meisya.

Aku sedang mencatat materi, spontan menoleh pada Meisya. "Aku sedang mencoba untuk menghindar dari buku itu. Kamu tahu 'gak, kalau setiap malam tuh buku itu selalu tiba-tiba pindah tempat dan membuka dengan sendirinya." Kedua tangan kulayangkan ke atas, memperagakan peroses buku itu melayang dan membuka.

WHEN MOON AND STARS SHAPE MAGIC ELEMENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang