"Kau keluarga."
Balasan yang sangat mengecewakan. Ditambah seorang pria tua dan teman-temannya datang menginterupsi, merenggut momen yang mungkin bisa ia perjelas lebih tegas lagi. Pada akhirnya, atas undangan si pria tua, Eren dan yang lain masuk ke area pengungsian, lalu disuguhi minuman beralkohol. Meski awalnya ragu, namun melihat si rambut coklat menikmati minumannya dengan enteng yang lain juga mengikuti.
Eren memberikan gelasnya pada Mikasa, tanpa perlu berkata apapun untuk membuat gadis itu minum dari wadah yang sama. Ragu-ragu, mereka mengambil gelas masing-masing. Persetan dengan yang lain, tapi Eren sadar Mikasa kaget di tegukan pertamanya. Gadis itu menutup mulut dengan kepalan tangannya, mungkin mencoba tidak muntah.
"Kau tidak suka?" Alkoholnya pasti serasa membakar tenggorokan bagi Mikasa yang baru pertama kali mencoba.
Mikasa menggeleng. "Tidak. Tidak begitu." Memberanikan diri, gadis itu meneguk lagi minumannya—kali ini sampai habis. Eren hanya tersenyum tipis saat gadis itu balas menatapnya.
Ketika malam terus berlanjut, pasokan anggur si pria tua juga berkurang. Jean dan Connie masih bisa berpikir untuk membeli beberapa lagi. Mereka kembali bukan saja dengan berbotol-botol anggur, tapi juga beberapa orang yang kemudian bergabung dengan acara dadakan itu. Meriahnya pesta juga diiringi kesadaran yang mulai menguar oleh pengaruh alkohol. Tawa lepas mereka sampai keluar dengan keras dari tempatnya.
Kecuali Eren. Kesadarannya masih utuh, mengawasi dari sudut tenda. Setidaknya cukup jelas untuk melihat Mikasa yang tertawa lepas dengan Sasha. Pipinya merah, tetapi itu rona yang sama sekali berbeda dengan saat Eren menanyainya beberapa jam lalu.
'Bukankah dia jadi terlihat lebih manis?' Sudut hatinya berbisik.
Benar. Reaksi Mikasa atas pertanyaan itu membuat wajahnya merah seperti tomat atau bom yang siap meledak—barangkali juga layak dibandingkan dengan ledakan Titan Colossal. Sangat imut.
Jawaban Mikasa mungkin menyakitkan, tetapi raut mukanya sudah lebih dari cukup untuk Eren bawa sebagai kenangan. Kenangan indah yang terakhir.
Malam semakin larut dan satu persatu dari mereka tertidur. Eren sendiri sekarang sudah berbaring di sisi Mikasa, di sebelah Armin juga. Tidak lupa satu kakinya melangkahi leher Jean, jaga-jaga kalau kuda Survey Corps satu itu melakukan yang bukan-bukan.
Eren menatap langit-langit tenda polos itu dengan sorot yang sukar diartikan. Terlalu dangkal disebut kesedihan, tapi lebih dalam dari sekedar keraguan. Erangan Mikasa di sampingnya lah yang mengaburkan segala kengerian yang ia tengah bayangkan.
"Eren?" Mata Mikasa setengah terbuka, sangat mengantuk tapi akalnya yang sisa secuil mencegahnya. "Kenapa kau tidak tidur?"
Eren tidak menjawab. Satu tangan Mikasa kemudian terangkat, meraih rambut coklat di belakang telinga Eren. Sedangkan pemiliknya membeku, terkejut. Mikasa dalam pengaruh alkohol mulai berceloteh dengan lancar.
"Rambutmu bertambah panjang. Tapi itu sangat lembut, kau tahu?" Jemari lentiknya menyisiri rambut Eren. "Apakah itu dari Dokter Jaeger atau Bibi Carla?"
Eren masih tidak menjawab. Dia memilih meneliti setiap detil wajah Mikasa dalam diam. Gadis itu lalu menarik wajahnya lebih dekat, menyebabkan jidat mereka saling bertumbuk. Mata hijau Eren dan mata kabut Mikasa sejajar sekarang.
'Sudah sedekat ini,' bujuk sebuah suara. 'Kau tinggal mendekat sedikit lagi, bodoh!' Sedikit, benar-benar sedikit. Eren hanya perlu maju duluan untuk menghapus jarak dengan Mikasa. Namun Eren mengubur keinginan itu dalam-dalam. Jika dilakukan, setidaknya harus ketika Mikasa juga menginginkannya. Saat dia sadar.
Di ujung kesadarannya, Mikasa yang hampir jatuh ke dunia mimpi bergumam, "Jangan pergi... Kumohon—" Lalu tangannya jatuh.
"Mikasa?"
Tidak ada jawaban. Ia tidur. Eren memutuskan ikut menutup mata. Pikiran terakhirnya saat itu adalah;
Levi akan memarahi mereka semua besok, karena menjadi anak di bawah umur yang ketahuan mabuk.
»◇◆◇«
Whelve (v.): To burry something deep; to hide
»◇◆◇«
Bonus :
Absquatulate
Konferensi internasional itu menjadi agak panas. Ketika pembicara di tengah ruangan menyuarakan pembebasan ras Eldia, namun di saat yang sama juga mendorong pemusnahan penghuni Pulau Paradis. Survey corps yang hadir dengan menyamar terkejut.
Tidak tahukah mereka bahwa keduanya adalah sama?
Eren memutuskan selesai dengan omong kosong itu saat batinnya menjadi amat dongkol. Ia keluar tanpa memberitahu siapapun, semua orang terlalu terpaku pada pemandangan itu. Mikasa terlambat menyadarinya, tapi tetap mengejar Eren ke luar.
Itu ramai. Banyak orang berpakaian formal serupa Eren, namun tidak satupun di antara mereka adalah pemuda yang dicarinya.
Ke mana dia? Ke mana Eren pergi?
'Kenapa kau pergi? Kenapa kau selalu menjauh dariku?' Mikasa hampir saja menangis jika saja Sasha tidak menepuk pundaknya, menyadarkannya.
"Dia pergi?"
Mikasa mengangguk. "Tanpa mengucapkan apapun."
Selalu begitu. Eren selalu pergi menjauh, tanpa menjelaskan apapun—walau untuk sekadar menenangkannya.
»◇◆◇«
Absquatulate (v.): To leave without saying goodbye
KAMU SEDANG MEMBACA
Cafuné
FanfictionAn EreMika fanfiction by me to celebrate #eremikaday Cafuné (n.): Running your fingers through the hair of someone you love. You are free to read. Tetapi bagi anime only, ini (mungkin) berisi spoiler. . . . All characters belong to Isayama Hajime