Alunan musik mengenang yang menoreh rindu hanya membuat telingaku semakin liar berpikir sambil berdiam diri.
Aku sempat bersukacita dalam tidur, menikmati luka yang kutertawakan setelahnya karena masih canggung. Yang jelas aku sudah terlalu biasa bahagia, ketika itu akhirnya berhenti perasaan inj terasa tak nyata dan segalanya menjadi binggung.
Membuat sedikit frustasi.
Tapi akhirnya tidak seburuk yang kukira, aku sudah memutuskan untuk terdampar, maka sudah jatuh terdampar hanya wajah datar yang mampu ku garis. Aku tidak punya hak bersedih, karena sedih yang akrab denganku sejak awal.
Hujan angin dan cemas sama sekali tak menakutkan bagiku. Sekitar kaki menggenang air keruh, air yang terpaksa naik karena dibawah sana sudah tak bisa menahan ragu.
Kukira hanya pasir pantai dan fana merah jambu yang memantul dilaut tang duduk berkelit dengan senyumku, ternyata sudah lama sedih menunggu dengan sabar disisi lain yang tak pernah kuingat ia selalu duduk disana. Sudah salahku tak mengingatnya, maka ketika aku terjebak sendiri di tengah atap bocor dan air keruh aku hanya bisa mengangguk yakin seperti bertemu dengan teman lama.
Aku bukannya menangis.
Bukan juga berkabung karena luka yang kubuat sendiri, aku hanya berpikir memang sampai kapanpun cinta bukan hal yang bisa menjadi sampan pelindung dan dayung kayu sederhana yang bisa kupakai menyebrang. Mereka menorehkan senyum hanya untuk menjadi sebuah kenangan yang harus kuputar setiap hari meskipun sudah berpisah.
Aku membisu dengan wajah yang tak akan orang lain lihat dan berbisik;
"Lagi-lagi tak pantas aku bahagia."
Aku masih utuh sendirian dan semuanya lengkap menyaksikan, meskipun ada yang mau menyebrang aku meminta mereka menunggu lebih lama. Tapi mereka kembali salah paham padaku, aku bukannya suka sendirian.
Ada kalanya aku berpikir lebih baik tidak hidup daripada kehilangan, lagi-lagi aku merasa gila karena rasanya aku takluk dengan sebuah sayatan kecil tajamnya aliran merah. Sebab luka meski terlihat bergeming; luka tak terlihat kebih menyakitkan.
Aku melamun sampai tiga hari menyaksikan jalan sepi, jalan yang biasanya terbuka oleh senyum yang menjemput. Kini sepi dan katanya dia sedang berduka. Meskipun tak terlihat pandangku dimana letak sedihnya... Entah ban yang bocor, atau memang dia putar arah menghindariku, yang jelas hari itu dia mengabari bahwa tak ada esok untuk penjemputan, kami berakhir disisi yang kami kira lebih baik.
Sebab aku melepaskan sesuatu yang berharga, tapi aku tahu, kalau terus kujaga yang berharga malah akan rusak.
Kalau hidup ini game, aku bukan meninggalkannya melawan ratu jat ditengah game berlangsung, aku hanya menyelsaikannya sebelum menemukan level lebih tinggi.
Aku hanya seorang pengecut yang percaya bahwa ia tak akan melepaskanku, tapi sejak saat itu aku tahu, ia tak akan bisa menerimaku.
Makannya aku disini sekarang dan sedikit merasa bersalah pada sedih yang sempat kulupakan adanya, padahal sejak awal sedih sudah ada disana dan aku ingat pernah berjanji tak akan melupakannya... Tapi karena lupa sedetik, aku lengah dan membiarkan jatuh ke sebuah gubug kecil ini.
Kembali duduk membayang tapak kali di aliran hangat pasir pantai.
Aku pandai terluka, tak apa-apa.
Semoga perahumu tetap belajar memahami tuan tujuan, selama aku disini akan kupelajari cara-cara mustahil menguras keruh pantai yang kubuat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Batas, sajak.
PoetryUntuk kalian yang 'terlalu' pada seseorang, sampai situ saja, sudah, jangan diteruskan, nanti kau akan menyesal. Sajak adalah bait-bait nyawa cerita seseorang tentang hidupnya, dan batas adalah benar-benar akhir dari cerita itu sendiri. Seperti wakt...