🔴⚪ When in Library

750 98 0
                                    

Sudut pandang orang ketiga di luar cerita 🌞

🍥🍥🍥

Setelah memasuki perpus, Susanti langsung menuju ke dudukan paling ujung, pojok. Emang suka mojok dia, tuh.

G.

Ia membuang napas sambil mengatur posisi duduknya agar lebih nyaman. Earphone sudah menempel di kedua telinganya. Maklum, bukan rakyat apel. Laptop sudah terbuka di depan mata, buku catatan sudah keluarkan, semuanya terasa sudah lengkap sebelum kepalanya terpukul-- oleh tangannya sendiri.

"Anjrit! Kan belum ngambil jurnal, gimana mau ngerjain?" Susanti memaki dirinya sendiri.

Tanpa membuang waktu, ia segera meninggalkan meja tempatnya duduk tadi dengan keadaan laptop menyala, handphone di atas meja, dan alat tulis yang berserakan ke rak kumpulan jurnal khusus untuk jurusannya.

Mungkin banyak dari kalian bakal bertanya;

"Dia waras gak? Naruh HP laptop di atas meja sembarangan."

"Orkay?"

"Gak takut maling?"

"Punya akhlak tyda?"

Dan jawaban dari semuanya itu adalah tidak.

Kampus tempat Susanti menempuh pendidikan memiliki keamanan yang sangat ketat di dalamnya. Meskipun cuma perpustakaan aja ada banyak petugas keamanan yang tersebar di dalam. Cuma karena beberapa alasan, mereka menyamar seperti anak kuliah pada umumnya. Dari mulai pakaian hingga model rambut.

Bahkan Susanti sendiri sudah hampir 20 kali kecarian ponselnya di kampus. Petugas keamanan sampai bosan melihatnya keluar-masuk ruang arsip barang.

Sampai sepuluh menit ke depan, Susanti belum juga kembali ke mejanya.

Beralih ke pintu masuk, seseorang masuk dengan canggung ke dalam. Hendak mencari beberapa buku sebagai acuannya untuk mengerjakan tugas kampus nanti. Ia tersenyum kecil pada semua orang yang melihat ke arahnya, kemudian menunduk.

Menjadi pusat perhatian bukanlah kesukaannya. Ia merasa terlalu malu hanya untuk sekedar melihat raut wajah yang mereka tampilkan. Tapi, berkat ketiga sahabatnya, perlahan kepercayaan dirinha tumbuh, walau tidak sedrastis mereka bertiga.

Ia berjalan lurus untuk menjadi tempat duduk yang kosong, sepi, dan terpojok. Entahlah, laki-laki itu selalu menyukai sesuatu yang kelihatan sempit tapi terasa nyaman dan santai. Rumahnya di Jepang pun demikian.

Matanya berbinar saat menemukan spot terbaik untuknya mengerjakan tugas. "Yes, keth-emu!"

Namun, raut wajah itu tidak bertahan lama karena selanjutnya ia menghela napas kecewa saat menemukan starter pack mahasiswa yang mungkin ingin mengerjakan tugas juga di atas meja. Mana nggak rapi lagi. Terlalu berantakan, menurutnya. Mungkin yang punya laki-laki.

Tunggu. Kalau laki-laki nggak masalah dong harusnya? Nanti juga dia bisa minta izin sambil ngobrol ala laki-laki. Udahlah gak apa-apa.

Lelaki bernama Otsuka itu langsung menaruh tasnya di kursi paling pojok dekat jendela perpustakaan, bersebrangan dengan orang yang pertama duduk di sana.

"Kore wa amarini mo ranzatsu desu.." [Ini terlalu berantakan..]

Otsuka dengan telaten menata semua barang itu agar berada posisi yang simetris satu sama lain. Barulah setelah itu ia pergi mencari buku berbahasa Indonesia sebagai bahannya untuk membuat paper. Tak lupa, Kamus Bahasa Indonesia-Jepang masuk dalam list penting buku yang harus dipinjam Otsuka.

Ia mulai berjalan meninggalkan meja, bersamaan dengan kembalinya si pemilik pertama meja itu. Ia berjalan dengan malas.

"Nyari ginian doang susah banget." Saking kesalnya ia bahkan tidak menyadari jika tatanan barang di meja itu telah berubah dari semula, dan terdapat tas orang lain di bangku seberangnya.

Susanti mulai membaca perintah yang diberikan dosennya sebagai PR, kemudian membaca jurnal pinjaman yang ia bawa langsung pada halaman tengah. Ya, ngapain ribet-ribet baca dari awal kalo yang dicari aja udah ketahuan di mana letak materinya...

Hidup itu jangan boros waktu, man!

Jangan boros otak. Gitu otak kalian udah habis daya gimana?

Tangannya sibuk bergerak abstrak mengikuti pikirannya yang sedang mengeja jawaban-jawaban yang akan ia tuangkan di dalam sheet.

Tak lupa tentang sistematika, segala margin, jenis huruf, ukuran huruf, longkapan paragraf, semua diatur Susanti dengan cepat dan tepat.

Emang orang lemot mah suka gitu. Kalo lagi serius bener-bener bisa serius, nggak keliatan gobloknya sama sekali. Contohlah Susanti, k1.

"E-Emm, permissi."

Susanti memutar bola matanya. Ia akan menoleh setelah sampai ke paragraf. Kali ini apalagi?

"Ma-af, saya tidak tahu i-inni tempat kka-mu." Otsuka masih tidak percaya diri dengan pelafalannya.

Sedangkan Susanti, jangan ditanya. Cosplay lagi dia jadi udara.

"Ssayya izin dud-uk di depan kamu, ya?"

Susanti meronta-ronta dalam hatinya. 'Metong, metong, metong!! TOLONG!! JIWAKU KOK GAK KERASA LAGI DI DALEM!?!'

Tbc

Otsuka || Indonesia {END}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang