🔴⚪ Final Choice

412 49 15
                                    

"Satu...."
"Dua ...."
"Tiga...."

Setetes air mata jatuh dari pelupukku tepat saat kami menyebutkan jawaban kami dengan ... pelan.

"P."

Dinginnya udara malam semakin terasa menusuk kulit saat keheningan menang di antara kami, entah karena terkejut atau mungkin karena emang nggak tahu harus gimana lagi.

Jawaban sudah terlontar dari bibir masing-masing. Namun, membayangkan apa yang akan terjadi esoklah yang menjadi masalahnya. Jauh dilubuk hatiku dan dia, kami sama-sama belum rela.

Tapi, tunggu? Untuk apa aku nangis gini? Aku langsung menghapus air mata itu kasar. Ini akan jadi kenangan paling membahagiakan juga menyakitkan buatku dan dia.

Pacaran sama laki-laki yang biasanya cuman bisa kita kagumin secara virtual, sama seorang yang terkenal, sama idola sendiri, siapa sih yang nggak bahagia?

"J-Jadi, kita putus ya?" kataku dengan suara bergetar.

Sumpah! Susanti bego! Masih nanya lagi, padahal udah jelas.

Di depanku, Otsuka hanya diam dengan kepala yang tertunduk. Berkali-kali aku lihat bahunya bergerak naik turun. Kenapa dia?

"Otsuka? Is this fine for you?" Tanganku refleks menimpa punggung tangannya, mencoba menenangkan Otsuka yang kelihatannya masih shocked. Aku jelas tahu itu, kelihatan dari bola matanya yang sedikit membesar.

Sampai tiba-tiba ia mengangkat kepalanya, menatapku langsung ke mata, kemudian tanganku yang tadi menggenggamnya ia tarik kencang hingga wajah kami hampir bertabrakan. Membuatku tersentak akan aksinya yang tidak kusangka.

Salah satu tanganku ia letakkan di atas bahunya seraya mulai mendekatiku. Ia memiringkan wajahnya yang ... aku tidak tahu apa arti dari tatapannya itu.

Pikiranku blank. Bingung harus apa.

"Otsuka ...."

Otsuka tidak menjawab.

Cup

Tubuhku terdiam kaku bak patung yang baru dipanaskan. Selain karena ini pertama kalinya, aku juga tidak menyangka kalau Otsuka yang akan melakukannya. Aku pikir, selama ini aku yang lebih agresif dari dia. Ternyata ... dia cuman nggak nunjukin aja, ya.

Mungkin ke-agresifan Otsuka keluar disaat-saat genting doang, hehehe 🌚

Ya, hal ini akhirnya terjadi juga.

Bibir Otsuka menyentuh milikku lembut, tanpa adanya unsur paksaan. Bahkan beberapa detik dia diam, hanya menekan bibirnya di sana, seakan memberiku sebuah pilihan yang harus segera diputuskan dalam waktu sesingkat-singkatnya. Diamnya seolah berkata, "Kamu berhak menolak atau melanjutkannya".

Pertanyaannya adalah, untuk apa aku menolak?

Aku mendorong tanganku yang satu lagi agar bisa melingkar di lehernya, berbarengan dengan Otsuka yang juga mulai menangkup sisi wajahku. Wajah kami semakin melekat. Kami mulai saling menggerakkan meskipun jujur, sangat kaku.

Ya maklum, bocah nolep disuruh ciuman ya jadi gitu deh.

Aku hanya mengikuti naluriku, aku tidak berani membuka mata dan kemudian menyesali semuanya. Untuk saat ini, aku hanya ingin menikmati waktuku yang paling terakhir bersama Otsuka, sebelum dia pulang ke negara asalnya.

Bagai melakukan telepati, aku dan Otsuka kompak mengecilkan suara kecupan kami agar tidak ada yang curiga. Bagaimanapun, kami masih berada di tempat umum. Memang gila, tapi aku suka adrenalinnya.

Merasa cukup, aku dan dia sama-sama menciptakan jarak lagi supaya bisa bernapas lebih lepas. Kening dan hidung kami saling menempel. Helaan napas saling bertabrakan, bau napas kami yang didominasi kepiting tadi itu tidak lantas membuat kami tutup mulut. Soalnya bakal ngancurin suasana banget jujur.

Otsuka || Indonesia {END}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang