Mengagungkan hari raya sepantasnya tidak dengan adegan pamer pakaian baru atau gemerlap dunia lainnya. Namun, dengan meningkatkan rasa syukur pada Sang Pencipta itu lebih utama.
🌼🌼🌼
Suara takbir menggema dengan indahnya. Alunan yang begitu merdu itu memanjakan telinga. Ada rasa haru yang menyusup sukma. Betapa nikmat Allah tiada tara karena telah memberi kesempatan menapaki cerita pada hari Raya.Rasa syukur itu pun tak henti Yara panjatkan. Setelah beragam ujian kehidupan ia terima, Yara masih diizinkan untuk kembali bertemu dengan hari Raya. Itu artinya Yara harus sekuat hati memperbaiki diri agar hal baik yang Allah hadiahkan tidak berakhir sia-sia.
"Mas berangkat dulu ya, Sayang. Eh, atau mau bareng?" tanya Rafif begitu mendapati sang istri sedang melamun sembari menghabiskan sisa kurma di piring kecil yang berada di meja kecil di dalam kamar.
Makan sebelum melaksanakan salat Idulfitri adalah sunnah. Maka dari itu, Yara dan Rafif memakan tiga buah kurma dan minum air putih sebelum berangkat ke masjid. Menurut mereka, sekadar menyantap kurma dan menyesap air putih saja sudah cukup. Menu utamanya akan mereka santap selepas salat. Meskipun, ketupat, opor, rendang, dan beberapa menu lainnya sudah siap dilahap.
"Mas duluan saja! Aku masih nunggu Mbak Rahma," jawab Yara sambil tertunduk malu. Ah, hanya dengan membayangkan kebersamaan Yara dan suaminya yang bisa dibilang tidak berjarak selama lima hari terakhir, Yara sudah tersipu. Bagai terulang kenangan yang lalu. Masa-masa asmara yang membara kala itu masih membayang setiap waktu.
"Ya sudah, Mas berangkat ya," ucap Rafif dengan senyum yang indah. Seindah seruan cinta pada Sang Maha Kuasa. Oh, tidak. Itu sih Yara yang terlalu berlebihan memaknainya.
"Kok nggak dijawab?" tanya Rafif pada Yara yang masih sibuk dengan lamunannya. Yara pun tergagap. Akhirnya, ia hanya menjawabnya dengan anggukan.
Yara masih heran dengan tingkah anehnya kali ini. Bisa-bisanya ia bersemu hanya karena memikirkan adegan manis dengan sang suami. Padahal, Yara sudah menikah lebih dari dua tahun. Namun, baru kini ia merasakan selayaknya remaja yang sedang kasmaran.
Yara berpikir bahwa ia seolah sedang merayakan hari raya cintanya. Mungkin memang benar kata orang, setelah badai menerpa, jika ikatan tersebut berhasil membaik maka jalan yang ditempuh akan semakin manis. Mungkin tidak semua, tetapi sekarang, Yara sudah membuktikannya
"Ayo, Ra! Maaf ya lama. Rasya barusan telpon. Anak itu sok cuek. Tinggal bilang kangen aja gengsinya, Ya Allah. Anak siapa sih itu? sungut Mbak Rahma yang sedang bercerita tentang anak semata wayangnya. Yara hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah kakak iparnya itu.
Rasya adalah satu-satunya anak Mas Rafly dan Mbak Rahma. Lelaki muda yang kini berusia tiga belas tahun itu sedang menimba ilmu di salah satu pesantren di pulau Jawa. Tepatnya, di Banyuwangi, Jawa Timur. Semenjak lulus Madrasah Ibtidaiyah, Rasya sudah memaksa orangtuanya dengan cara halus untuk mengizinkannya nyantri di pulau seberang. Padahal, keponakannya itu masih terbilang kecil. Akan tetapi, nyali yang dimiliki sungguh besar. Anak sekecil itu sudah berani terpisah dari orangtua.
Menurut Yara, Rasya adalah bibit lelaki idaman wanita kelak. Tidak bermaksud melebihkan, tetapi hasil pengamatan Yara memang begitu. Sebab, Rasya, Si Kecil pemberani itu tidak hanya memiliki paras menawan, sikap kritis dan kecerdasan yang Rasya miliki bisa dengan mudah membuat orang lain kagum. Termasuk Yara.
Tak ingin terlambat ikut salat, Yara segera menyusul Mbak Rahma yang sudah keluar rumah lebih dulu. Seharusnya, ketika hendak salat Idulfitri, dianjurkan berangkat pagi-pagi. Sayangnya, hal tersebut tidak berlaku untuk wanita dengan segudang kesibukan seperti Yara, Mbak Rahma, dan beberapa wanita di luar sana.
"Mbak, tunggu!" seru Yara yang sontak membuat Mbak Rahma berhenti. Demi mengejar wanita itu, napas Yara sampai tersengal.
Tempat untuk melaksanakan ibadah salat Idulfitri kali ini memang agak jauh. Lokasinya terletak di area pondok Putra. Sehingga, wajar jika Mbak Rahma mempercepat langkahnya agar tidak tertinggal salat.
"Aku dibelikan baju baru dua set lebaran tahun ini, kamu berapa?" tanya gadis kecil yang memakai mukena motif bunga dengan semangat.
"Aku nggak beli baju baru. Soalnya, bajuku yang bagus masih banyak. Jadi, aku nggak butuh," timpal anak manis di sebelah si penanya tadi.
Yara mengangguk mantap menanggapi jawaban anak itu. Baginya, mengagungkan hari raya sepantasnya tidak dengan adegan pamer pakaian baru atau gemerlap dunia lainnya. Namun, dengan meningkatkan rasa syukur pada Sang Pencipta itu lebih utama.
Perayaan sesungguhnya pada hari Raya adalah ketika seseorang mampu menuntaskan puasanya. Tidak hanya dalam hal menahan lapar saja tetapi menahan diri dari nafsu yang menggoda.
Tak terasa, masjid besar sudah berada di depan mata. Yara langsung bergerak masuk memenuhi barisan yang masih belum terisi di bagian depan, tentunya dengan tetap mengekor Mbak Rahma.
Suara takbir kembali mengalun sahdu. Kini, pikiran Yara seakan terlempar jauh pada memori beberapa tahun silam. Ia teringat sang nenek di masa lalu, orang kesayangan Yara itu selalu berada di dekat Yara ketika melakukan salat hari Raya. Selepas salat, Yara langsung mendekap erat neneknya tersebut. Namun, kini tak lagi sama, neneknya tercinta sudah berpulang pada Sang Pencipta.
Sebenarnya, Yara tidak ingin menangis. Namun, teori itu seolah tak berguna. Sebab, ketika suara takbir terdengar kembali sewaktu sang Khatib mengumandangkannya, netra Yara seketika basah. Entah mengapa gema takbir yang tadinya indah di telinga, kini bagai lagu pilu yang menyayat dada. Rasanya sedih, hingga airmata Yara mengalir deras. Apalagi, ketika sesi bersalaman untuk saling berucap maaf berlangsung, Yara tidak kuasa menahan isaknya.
"Ra! Ayo, pulang!" teriak Mbak Rahma tepat di indra pendengaran Yara. Wanita itu seketika tersentak. Yara tidak sadar sudah berapa lama isi kepalanya berkelana. Tidak ingin membuat Mbak Rahma panik, Yara segera menyeka sisa air bening di netra.
"Gandeng, Mbak!" ucap Yara manja yang sontak membuat mata Mbak Rahma membola.
"Mau diseret saja?" kata Mbak Rahma dengan nada mengancam.
"Kejam ih!" sahut Yara kesal.
"Pangeranmu udah nunggu di depan gapura masjid, tuh," ucap Mbak Rahma dengan menunjuk objek yang menjadi perhatian Yara.
"Minta gendong aja sekalian sana!" lanjut Mbak Rahma dengan intonasi datarnya. Yara berdecak sebal. Sudah cukup ia menjadi sumber kehebohan saat tak sadarkan diri beberapa waktu yang lalu. Kali ini, Yara tidak ingin mengulanginya lagi.
Jarak antara Yara dan sang suami sudah semakin dekat. Pipi Yara memerah ketika disambut dengan tatapan cinta dan senyum yang penuh pesona.
"Mas Rafif?"
Yara seketika terdiam di tempat seolah tak mampu bergerak ketika mendengar suara asing yang cukup menggelitik. Arah pandang Yara menelisik ke arah sang penyapa suami tercinta yang berjalan kecil dari arah kanannya.
Kesan pertama melihat orang itu, Yara begitu terpesona. Untung saja, ia wanita. Maka dari itu, Yara tidak akan mungkin menyukainya selayaknya pasangan. Perempuan dengan senyum semanis madu itu begitu mengusik hati Yara. Posisinya seakan terancam. Padahal, kenyataannya belum tentu demikian.
"Siapa dia?"
__________________
To be continued.
Finally update. 🌹
Selamat hari Raya Idulfitri.
Mohon maaf lahir batin ya semua. Semoga hidupnya semakin berkah. Aamiin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Khala
Spiritual[COMPLETED] Khala bermakna sepi. Itulah yang kerap dialami oleh Ayyara Rivania Kiev atau yang biasa disapa Yara. Kesibukan sang suami, Rafif Omar Syarif, sebagai pengacara muda terkenal membuat Yara dilanda sepi. Dalam suasana senyap itu, Yara berha...