Memahami teori mungkin mudah. Namun, tidak untuk praktiknya.
🌼🌼🌼
Sebelumnya, Yara tidak pernah berpikir terlalu jauh menyoal satu kata berjuta makna yang kerap menjadi pro dan kontra ini. Yakni, perihal poligami."Poligami, bukan sebuah dosa, 'kan?" Yara bertanya pada diri sendiri.
Ruang perpustakaan pribadi sudah menjadi tempat mengisi waktu sepanjang hari bagi Yara. Tepatnya, setelah pertemuan singkatnya dengan Ning Malva beberapa minggu yang lalu. Apalagi, sang suami juga sudah mulai aktif bekerja.
Termasuk, sekarang.
Setelah Yara merampungkan urusan rumah, tujuan utamanya kali ini adalah untuk merecoki beberapa buku dan kitab pegangan milik sang suami. Misinya masih sama, mencari referensi sebanyak-banyaknya mengenai poligami.
Jujur, Yara masih kepikiran. Cerita Ning Malva membuat rasa simpati di hati Yara mencuat. Padahal, seharusnya itu menjadi sebuah ancaman. Namun, ia malah seolah membuka jalan kompromi yang bisa dianggap tidak masuk akal.
"Sebenarnya, aku tidak pantas datang ke sini, Mbak. Aku seperti nggak punya muka bertemu dengan Mbak Yara. Aku yakin ucapan Ibuk waktu itu sampai juga ke telinga Mbak Yara. Atas nama Ibuk dan tentu saja diriku sendiri, aku minta maaf kalau tanpa sengaja kata-kata dari keluarga kami melukai Mbak Yara."
Sampai detik ini, Yara masih mengingat dengan jelas kata demi kata yang diucapkan oleh Ning Malva. Dengan terisak pelan, wanita itu meminta maaf sekaligus menceritakan kisah pilunya tentang peliknya menentukan pasangan hidup.
"Saat itu, aku terlalu gelap mata, Mbak. Aku begitu mendamba sosok Mas Rafif untuk menjadi pasangan hidupku. Aku sampai berpikir tidak masalah kalau aku menjadi yang kedua. Aku tidak akan menuntut banyak. Asal bisa bersama dengan lelaki yang kuidamkan, aku bisa bahagia."
Saat itu, sebelum Ning Malva melanjutkan kalimatnya, Yara hampir meluapkan amarah. Namun, ia mengurungkan niatnya setelah menangkap makna dari cerita lengkap Ning Malva.
"Namun, pernyataan Mas Rafif begitu menamparku. Katanya, aku akan sangat kecewa kalau aku memaksakan diri. Sebab, ia bilang bahwa nggak akan pernah ada tempat untuk wanita lain selain sang isteri apapun kondisinya. Kala itu, di depan keluargaku, Mas Rafif bersikap santai seolah menerima. Namun, ketika tanpa sengaja kami berbincang berdua, Mas Rafif menyuarakan keresahannya itu. Dari situ, aku sadar bahwa Mas Rafif hanya menjaga perasaanku saja. Ia tidak sungguh-sungguh mempertimbangkan diriku. Aku yakin, Mas Rafif hanya tidak ingin membuatku malu di hadapan banyak orang."
Dari penjelasan Ning Malva, Yara semakin mengagumi sang suami. Caranya bersikap sungguh patut dijunjung tinggi.
"Kalau tahu seperti itu, aku nggak akan main pergi gitu aja," batin Yara.
Yara masih belum beranjak dari perpustakaan mini yang berada di rumahnya. Ia masih belum menyerah. Ia yakin ada satu sumber yang bisa menyenangkan rasa penasarannya. Namun, sudah lebih dari satu jam ia belum juga menemukan.
Bahkan, sembari duduk manis di kursi yang terletak di sudut ruangan, Yara sempat juga membuka aplikasi perpustakaan nasional online. Akan tetapi, belum ada acuan yang pas yang bisa ia terima penjelasannya.
"Persoalan poligami begitu menyita hati." Yara geram sendiri. Ia juga heran pada dirinya, mengapa mau saja menyusahkan diri. Padahal, masalah yang ia takutkan selama ini tidak akan terjadi kalau ia tidak berlagak menjadi pahlawan seperti saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Khala
Spiritual[COMPLETED] Khala bermakna sepi. Itulah yang kerap dialami oleh Ayyara Rivania Kiev atau yang biasa disapa Yara. Kesibukan sang suami, Rafif Omar Syarif, sebagai pengacara muda terkenal membuat Yara dilanda sepi. Dalam suasana senyap itu, Yara berha...