43. Pengakuan

635 58 11
                                    

"Ma, gimana kondisi Kak Dion?" Ujar Dira setelah sampai di rumah sakit di depan ruang ICU. Disana sudah ada Mama, dan juga teman-teman Dion.

Dira mendekati mamanya yang terduduk menatap kosong ,matanya sembab habis menangis. Tidak jauh berbeda dengan teman-teman kakaknya yang tengah berdiri menatap khawatir keadaan Dion dari balik jendela.

"Ma..." Panggil Dira menepuk pelan bahu mamanya dengan tangan kanan,sedangkan tangan kirinya memegang piala kemenangannya. Andai kakaknya tahu jika dia berhasil Pulang membawa penghargaan yang sedari dulu kakaknya inginkan.

Mamanya tersentak kemudian tersenyum tipis kearahnya."Kakak kamu bakalan sembuh,dia anak yang kuat."

Dira mengangguk,meski dia tidak yakin dengan ucapan mamanya. Dira berdiri dan mendekati jendela kosong yang mengarah ke ruangan Dion. Matanya tiba-tiba berair melihat keadaan kakaknya yang kini terbaring lemah disana.

"Kak Dion bangun." Lirih Dira pelan. Ini semua gara-gara dia,jika saja dia tidak berharap Dion datang ke acara lomba itu, mungkin saja Dion sudah berada di rumah sakit dan sudah ditangani sedari tadi.

"Maafin Dira kak karena Dira telat, Dira sudah janji sama kakak bakalan jadi pejuang. Dira akhirnya memilih melanjutkan Olim itu dan kini kembali menemui kakak." Lanjut Dira mengingat ucapan Dion kemarin.

"Kakak harus bangun, apa kakak gak mau memberikan ucapan selamat kepada Dira?" Lirihnya lagi menyeka buliran air mata yang mulai mengalir di pipinya.

"Ini kak, piala Dira. Piala hasil kerja keras kakak yang selama ini udah bantu Dira. Bangun kak!" Terisaknya kemudian.

"Gue gak nyangka lo bakalan berbuat hal sejauh ini."

Dira tersentak kemudian menatap salah satu sahabat kakaknya yang kini tengah menatap sinis kearahnya.

"Kak Roy." Cicitnya pelan.

Roy tersenyum miring, "Kenapa kaget?"

Dira mengusap jejak air matanya kasar dan menatap Roy dengan tajam. "Kakak gak tahu apa-apa,jadi aku harap kakak jangan buat kesimpulan sendiri."

Roy bersedekap kemudian melirik keadaan sekitar yang ternyata jauh dari keramaian."Kalau gitu jelasin ke gue dan gue bakal bantuin Lo,tapi kalau lo pura-pura diam kayak gini, gue gak segan-segan akan bongkar rahasia Lo dan jauhin Lo dari kehidupan Dion."

Dira terdiam mencerna ucapan Roy yang terdengar sebagai ancaman untuknya.

"Kakak ngancem aku?"

"Bisa dibilang iya,dan gue gak akan segan-segan nyari semua bukti kebusukan lo! Ta.."

Deg...

Ta?

Apa Kak Roy tahu?

"Pikirin hal ini baik-baik." Ujar Roy kemudian berbalik pergi kearah sahabat kakaknya yang lain.

Dira meremas ujung roknya, sepertinya semuanya akan terbongkar. Dia harus apa sekarang?

.....

"Ra, kamu jagain kakak kamu dulu ya! Mama mau pulang sebentar mau ambil baju kakak kamu dulu. Kata dokter sebentar lagi kakak kamu bakalan sadar."

Dira mengangguk kemudian mengantarkan mama sampai di pintu ruangan. Setelah mamanya pergi,Dira kembali duduk di kursi sebelah Banjar Dion.

Dia akhirnya bersyukur melihat keadaan kakaknya yang kini baik-baik saja dan sudah bisa dipindahkan ke ruang rawat. Meski begitu dia sangat menanti kakaknya itu bangun dari tidurnya.

 The Cold BrotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang