8. Sebuah Pilihan

1.8K 125 12
                                    

Dira berulang kali menghela napasnya saat merasa apa yang dia lakukan saat ini selalu salah dimata oma barunya yang baru dua hari menginap dirumah. Entah kesialan atau tidak yang pasti dirinya selalu menjadi sasaran empuk Eyangnya yang selalu saja menyalahkan dirinya.

Dira yang salah, Dira yang menjadi pembawa masalah, biang onar dirumah ini.

Ingin sekali dia berteriak menghadapi kelakuan Omanya yang tidak adil kepadanya. Mengapa selalu kakaknya yang menjadi kesayangannya, mengapa Dion yang selalu dipedulikan dan bukan dirinya. Bukannya dia iri, tapi dia juga ingin merasakan kasih sayang eyangnya meskipun dirinya bukan cucu kandungnya.

"Dira, kamu kenapa diam saja disini? Diluar kan banyak keluarga besar Papa." Suara lembut nan hangat membuat pandangan Dira teralihkan.

Dira menghela napasnya, menutup tirai kamarnya dan duduk ditepi ranjangnya. "Itu keluarga Papa, bukan keluarga Dira." lirihnya.

"Kamu jangan ngomong seperti itu, kan kita juga bagian dari keluarga mereka sekarang." elus mamanya membuat Dira terdiam menatap mamanya.

"Bagian keluarga ini?"tanyanya. "Bagian keluarga yang seperti apa menurut mama? Oma aja gak pernah sayang Dira ma." entah mengapa air matanya perlahan membasahi pipinya, dia tidak ingin terlihat cengeng namun didepan mamanya membuatnya tidak kuasa menahan air mata.

"Mama yang salah." lirih mamanya. "Mama gak seharusnya nerima pinangan Mas Aryo jika kamu tidak bahagia seperti ini. Mama yang salah."

Dira mengusap air mata mamanya dan menggeleng."Ini bukan salah mama, ini salah Dira yang nuntut Oma biar sayang sama Dira. Dira udah bersyukur Om Aryo udah nerima Dira seperti anaknya sendiri." ujarnya sembari tersenyum.

Mamanya mengusap air matanya dan mengusap rambutnya lembut. "Yaudah ayo kita keluar."

Dira mengangguk mengikuti mamanya yang berjalan terlebih dahulu. Matanya melirik melihat omanya yang kini duduk bercengkrama dengan keluarga besar papanya yang sebagian besar belum dia kenal. Dira tersenyum dan duduk diseberang Omanya yang kini menatapnya tajam.

"Haduh kenapa tiba-tiba panas banget ya." keluh omanya, "Aryo, tolong kamu besarin AC nya." Liriknya sembari menatap Dira yang hanya diam memainkan tangannya.

"Udah bu." Ujar Papanya meletakan remot Ac diatas meja. "Loh Dira kamu kok diam aja? Disini banyak loh anak saudara Papa yang seumuran dengan kamu."

Dira tersenyum,"Iya Pa."

"Halah mana mereka mau sama anak ini." sinis Omanya. "Lagian Gita sama Della udah nyaman berdua diteras tadi, mana mau ngajak gadis kampung seperti dia."

Dira terdiam, rasanya dirinya seperti tertusuk melihat suara sinis yang dilontarkan oma kepadanya.

"Ibu!" peringat papanya.

"Apa? Ibu malas debat sama kamu." Papanya menggeleng dan menatapnya lembut membuat Dira tersenyum.

"Dira ke mama aja deh Pa, kayaknya mama lagi butuh bantuan Dira. Permisi." lebih baik dirinya menghindar dari oma nya dari pada dia akan sakit hati nantinya.

"Loh sayang, kamu ngapain disini? Mending kamu diluar aja main sama sepupu kamu." ujar mamanya kaget.

Dira menggeleng." Gak deh ma, Dira bantuin mama aja deh." mamanya diam lalu mengangguk sembari tersenyum dia tahu apa yang dialami anaknya itu.

Dira membantu mamanya membawa beberapa cemilan dan aneka kue yang dibuatnya tadi bersama Tante Ria, saudara sepupu papanya yang menurutnya sangat baik dengannya keruang tengah. Namun pandangannya jatuh kearah sosok yang kini duduk disamping Kakak tirinya itu dan kini menatapnya kaget.

 The Cold BrotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang