Mahar dan Jogja

12 3 0
                                    

Jogja, tempat yang indah untuk turis dan sejarawan. Sepenuhnya, kota ini punya cerita yang bermacam-macam, dan salah satu kota yang paling sering muncul di kepala orang Indonesia, khususnya Jawa. Betapapun kamu mengelak, Jogja memang seperti kota yang sempurna, walaupun juga tidak sepenuhnya begitu. Sama seperti kota-kota lain, ada baik dan buruknya.

"Assalamuallaikum, Mbok! Mahar hadir!"

Pertama kali menginjakan kaki di Jogja, aku tinggal bersama mbok Darmi, bibiku. Mbok Darmi adalah wanita berusia sekitar 50 tahunan, seumuran dengan ibuku, karena memang adiknya. Beliau tinggal sendiri, suaminya meninggal 3 tahun sebelum aku datang, dan anak-anaknya sudah beristri juga bersuami. Mbok Darmi sangat menjunjung tinggi budaya lokal, rumahnya sudah seperti sanggar kesenian, setiap hari ada pertunjukan, barang cuma latihan.

Aku, Mahar, berkuliah di salah satu perguruan yang ada di Jogja, jurusan seni murni, karena ingin menyalurkan semua bakat yang aku punya. Sebulan tinggal di rumah mbok Darmi, aku tidak enak, maksudnya bukan pelayanan atau apanya. Beliau terlalu baik, dan aku harus terikat peraturan yang tak bisa membuatku fokus dalam memahami mata kuliahku. Setiap hari ada kebisingan, tentu, sudah aku bilang, rumahnya sudah seperti sanggar.

Kemudian, tanpa berpikir lebih, aku pamit untuk mencari losmen atau kost paling murah di Jogja, tentu dengan mempertimbangkan satu dan lain hal. Sejauh aku berjalan, menyusuri Jogja, harganya tak ada yang pas untuk kantongku. Aku bermalam di tengah sepinya taman kota. Ketika itu, aku sama sekali tidak terpikir segala sesuatu yang negatif, hanya fokus mencari tempat tinggal. Tanpa aku duga, 3 orang berjejer menghampiriku, sepertinya baru mabuk. Mereka meminta uang dan barang berharga yang aku miliki. Tentu, sebagai orang yang hanya memiliki sedikit uang, aku melawan. Jadilah perkelahian memperebutkan uang yang tak seberapa itu. Aku lumayan bisa dalam berkelahi, sekedar bisa. Satu orang tersungkur, dua orang lagi menggeretak. Merasa teralihkan, seorang lagi muncul dari belakang, memukulku dengan keras di bagian kepala, sampai aku terjerembab menghantam trotoar.

Setelah itu, pandanganku gelap, aku tidak ingat apa-apa, setidaknya sampai seseorang menceritakannya. Dia seorang laki-laki paruh baya yang cukup tegap, mirip polisi, beliau menceritakan bahwa aku mengalami pendarahan dan pingsan 2 bulan, tanpa identitas Jogja, aku bisa apa? Apalagi aku tak mengingat apa-apa selain kepergianku untuk kuliah di Jogja. Cukup aneh, dokter bilang aku mengalami amnesia tapi tidak cukup parah, hanya kehilangan beberapa memori sebelum aku tiba di Jogja. Aku hanya mengingat rumah mbok Darmi tempatku pulang, maka aku diantarkan oleh mereka kembali. Mbok Darmi marah, aku diberitahunya untuk menginap di kontrakan miliknya saja. Maksudku, kenapa tidak dari awal ya? Ah, saat itu aku sama sekali tidak terpikir, hanya iya-iya saja.

Bertahun-tahun lamanya di Jogja, setelah lulus, aku bekerja di sebuah penerbit sebagai seorang ilustrator, ternyata bakatku adalah melukis digital. Dan setelah itu, tanpa merasa berdosa, aku mulai berkenalan dengan beberapa primadona Jogja. Salah satunya Arini, gadis yang betul-betul cantik, pintar dan pengertian. Arini yang kelak menjadi istriku. Hidup di Jogja, tak kenal lagi keluarga, mereka sudah menghilang tanpa kabar, bahkan aku juga tidak terlalu ingat wajah mereka. Aku masih sering hidup dalam mimpi, membayangkan sesuatu lewat hadirnya awan, dan terbayang sebuah tempat yang rasaanya tidak asing, ada sungai dan awan yang indah serta juga tawa gadis yang rasanya benar-benar tidak asing.

Arini gadis yang tidak suka bermimpi, selalu berpikir hidup hanya hari ini, tidak pernah membuang waktunya secara cuma-cuma. Dia seorang akuntan yang hidupnya penuh dengan kalkulasi, segala sesuatu dihitung baik buruknya, tidak ada mimpi-mimpi, baginya, itu tidak pasti. Kami jarang kencan seperti pasangan pada umumnya, tapi aku mencintainya. Kemudian aku lamar dia, tanpa penolakan, untuk kemudian kami menikah tidak lama dari itu. Hidupku di Jogja ini benar-benar seperti impian.

Setelah menikah, aku masih bekerja di penerbit, walau gajinya tak seberapa, tapi aku menyukainya. Bukan karena idealis atau apa, memang senang saja. Arini sering menelepon ketika aku tak kunjung pulang.

"Mas, kamu masih lama? Aku baru masak. Pulanglah dulu, kalau memang pekerjaannya bisa ditunda. Nanti sakit, terus meninggal, terus aku bingung mau ngapain, terus gimana? Pulanglah."

"S-siap Grak!"

Tidak ada penolakan, hanya kebanggaan, memiliki seorang istri yang amat pengertian, sangat mencintaiku, lebih dari aku sendiri.

Surat Dari AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang