Meluruskan

7 2 2
                                    

Hidupku sudah aman-aman saja. Tapi aku dengar dari ujung desa, Mahar kembali. Aku benci dia, kenapa dia harus kembali? Sudah terlalu lama dicampakannya, kini dia mau minta maaf atau bagaimana? Adimas sedang di luar kota, aku harus meneleponnya, memintanya untuk pulang. Perang ini akan segera meledak, dan aku membutuhkan dia.

Mahar, benar-benar datang. Sedang Adimas? Sedang dalam perjalanan, dia membelaku dengan mengambil cuti 2 hari dari kantornya. Tidak seperti Mahar yang sedang berjalan ke arah rumahku ini, penipu besar.

"Wan..."

Aku banting pintu tanda penolakan.

"Rumah yang anda datangi bukan rumah Awan, dia sudah bahagia, tidak bersamamu."

"Aku ngerti, Wan. Dengar dulu, kita bicarakan baik-baik."

Amarahku meledak, warga tak ada yang mau ikut campur, mereka mendukungku. Aku buka pintu keras-keras, biar terdengar, lantas maju dua langkah ke depan. Disertai hujan yang cukup deras, kami bertemu.

"APA? Dibicarakan baik-baik? Kata-kata itu sudah basi, Har. Haram hukumnya untukku menerima seorang penipu."

"Aku harus menjelaskanmu semua, pertama-tama, dia ini istriku, Arini."

Bangsat, dia datang dengan membawa wanita yang seharusnya tidak ada. Emosiku semakin menjadi-jadi.

"Oh ini? Dia toh gadis Jogja yang lebih dariku. Peduli apa? Kau sekarang cuma angin, yang akan segera pergi mengisi ruang kosong lain, jangan-jangan, nanti kau akan pindah dari Arini itu ke Arini lain."

"Jaga mulutmu, mbak! Saya memang Arini, istrinya. Mas Mahar tidak begitu."

"Mas Mahar, mas Mahar tidak begitu bagaimana? Aku buktinya!"

"Makanya dengarkan saya, Wan. Berteduh kita, jangan hujan-hujan begini."

"Biar hujan, kenangan kita datang juga dengan hujan, dan hujanlah yang harus ikut serta menghapusnya! Tidak bisa mengelak! Kemana saja kau?"

"Aku di Jogja, kuliah, kemudian bekerja. P-persis seperti pamitku padamu."

"Kau tidak pamit mau menikah, bukan? Kenapa datang dengan menikah? Kau juga sama sekali tidak membalas suratku, aku yakin kau juga tidak membacanya."

"Aku membacanya, Wan."

"Dan kau tidak punya niat membalasnya?"

Dia diam, tidak menjawab, hanya menunduk. Aku merasakan kejanggalan. Aku rasa dia tidak sedang menghindar, dia menghadapi kenyataan tanpa persiapan. Dia Mahar, selalu bermimpi, tak pernah menunduk sebelumnya, aku rasa ini penemuan baru. Dia merasa bersalah.

"Aku lupa, Wan. Sudah aku balas kemarin, suratnya belum sampai."

"Kau ini bodoh atau bagaimana? Setelah 10 tahun, surat ini baru kau balas? Dan kau enteng sekali beralasan lupa?"

"Memang itu kejadiannya, aku sekarat 1 bulan di rumah sakit, kehilangan semua ingatan lamaku. Hanya Jogja yang kuingat tempatku pulang. Begitu kemarin aku datang setelah 10 tahun ke rumah mbok Darmi lagi, aku langsung ingat semuanya."

Aku diam, Arini diam, Mahar diam. Kami canggung, tidak lagi saling memutus omongan. Aku merenung. Lima belas menit kami hanya berhadapan dan saling menunduk. Kemudian, seorang anak kecil keluar dari rumahku, Jargi Bintala, anakku.

"A-anakmu?"

"Ya."

Dia tersenyum, entah kenapa aku senang. Kesalahpahaman ini perlahan runtuh. Tapi aku masih tidak terima. Aku dikabari Jargi, bapaknya telepon. Katanya sudah sampai kota.

"Ayo masuk, nanti suamiku pulang. Kita bicarakan lagi. Sekarang, aku harus melayani kalian selayaknya tamu bukan? Ayo."

Surat Dari AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang