Awan

55 7 0
                                    

Aku Awan Gultik Maheswari, sepetak lemah basah asli kampung yang lumayan mahal. Diberi nama tengah Gultik bukan tanpa alasan, ketika mengandungku, ibu selalu ingin makan Gultik, walaupun bapak tidak punya uang banyak, tapi selalu dibelikannya. Hampir seminggu 3 kali bapak bolak-balik Jogja untuk beli Gultik, bahkan ketika kelahiranku, bapak tidak mendampingi di rumah, dia sedang membeli Gultik untuk ibu. Kemudian, demi mengabadikan pengorbanan bapak, ibuku menjadikannya nama tengahku.

Bukan hal yang umum bagi seorang anak petani di kampungku untuk sekolah, apalagi sejak dini. Aku Awan yang tidak turun hujan, sejak kecil aku dilatih untuk tegar, perundungan sudah seperti makanan sehari-hari untukku. Sejak kecil, aku selalu dimasukkan ke sekolah yang menurutku mungkin seandainya aku tidak berada di sana, ekonomi keluargaku akan jauh lebih baik dari hari ini.

Aku Awan, hanya mempunyai satu kawan karib, yang kelak menjadi kekasihku, Mahar. Mahar, kalau kata orang adalah pentolannya sekolah, seketika orang yang menggangguku akan kabur bila aku sebut namanya.

"Aku kancane Mahar! Opo kon? Wani?"

Langsung terbirit-birit tak karuan mereka, begitu mendengar aku mengatakan itu.

Masa remajaku biasa saja, jauh dari kata menyenangkan, aku tak bisa mengejar perkembangan zaman seperti temanku, selalu dianggap kuno, tidak terlalu pintar, dan segala kekurangan berarti lainnya. Aku Awan, sejak kecil, selalu membandingkan diri dengan orang lain, salah ukur satu centimeter lebih sempit saja sudah menilai diriku telalu berisi.

Tinggiku semasa SMA 167 centimeter, dengan berat mutlak yang kelak tak pernah bertambah sama sekali, 50 kilo. Pasangan angka yang tidak terlalu cocok, tapi aku harus menerimanya. Menjadi jauh dari kata idaman, wajahku biasa saja, tidak begitu cantik dan tidak pernah sekalipun perawatan. Bagiku, perawatan sama dengan buang-buang uang, lebih baik aku tabung untuk biaya kuliah.

Selepas SMA, aku melanjutkan kuliah kedokteran D3, tapi putus di tengah jalan karena keuangan. Uang tabunganku tidak selalu cukup. Tapi, di sinilah aku mulai menyimpan rasa dengan Mahar. Mahar tidak melanjutkan sekolah, perusahaan orang tuanya sedang mengalami krisis parah pada saat itu.

Lulus dari SMA, Mahar juga sepertinya mulai menaruh hati padaku, walaupun itu lucu. Mahar, seingatku dipuja-puja oleh ratu-ratu sekolah tanpa kenal ampun. Kenapa dia bisa jatuh hati padaku? Bukankah seharusnya dia memiliki opsi yang lebih beragam dan indah, kenapa malah aku? Ah, munafik, aku juga menyukainya.

"Wan, kamu ngerti Awan itu? Bentuknya hati!"

"Artinya apa, Har?"

"Artinya yang melihatnya sedang saling jatuh hati, Wan. Semesta mendukung hahahaha..."

Tawa paling renyah yang langsung membuatku mengeluarkan kata-kata yang betul-betul di luar perkiraan.

"Aku mau denganmu, Har."

Ketika itu, tidak tahu apa yang sedang ada di pikiranku, membalas gombalan dengan cara yang sama sekali tidak elegan, malah cenderung genit. Tapi anehnya, Mahar justru tertawa dan menjawabnya dengan santai, yang kemudian membuatku semakin jatuh hati.

"Oh ya wis kalau begitu, ayo."

Sejak itu, sejak kejadian konyol itu, aku dan Mahar seperti sepasang sepatu yang talinya tidak ingin saling terpisahkan. Bukankah seharusnya aku senang? Tidak juga. Berhubungan dengan Mahar tidak semudah yang dibayangkan, otaknya melantur ke mana-mana, seperti orang sedang mabuk. Kadang dia bisa sebaik dan seramah penduduk menyambut turis, tapi juga bisa dingin dan pendiam seperti papan.

Mahar ini seperti tidak bisa memisahkan antara imajinasinya dan kenyataan. Orangnya usil, usil sekali. Pernah suatu ketika, malam setelah jam sibuk, Mahar nampak berlari sambil ngos-ngosan mengetuk rumah kami kepadaku.

Surat Dari AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang