Mahar

22 4 0
                                    

"Dirgantara Mahar Mengguruh! Pengamat awan! Calon pelukis besar!"

Begitu aku mendeklarasikan diri sebagai seorang pemimpi yang juga merangkap agen kesenian. Jangankan memimpikan segala sesuatu yang dianggap remeh, dari mimpi berat seperti menjadi presiden sampai menjadi meteran 5 meter, semua aku bayangkan. Tapi barangkali betulan memang remeh, hanya aku yang terlalu memikirkannya. Sejak kecil, aku sekolah selalu bersama dengan Awan, kecuali sewaktu perguruan tinggi. Aku, anak yang berusaha terlihat seurakan mungkin, tapi tak pernah berhasil jika berhadapan dengan Awan. Ayah dan Ibuku kerja di luar kota, hidupku sepenuhnya menjadi hidupku. Kebebasan dan kemerdekaan dalam hal apapun, memang mungkin terkesan tidak diperhatikan, tapi aku menyukainya.

Masa sekolah dasar, aku menjual kata-kata, maksudku puisi. Tidak ada kata-kata lain yang aku gunakan, kata-kata yang sama. Mereka (yang membeli) tidak tahu isi macam apa yang aku suntikan kepada kata-kata itu, peduli apa? Mereka hanya mementingkan keindahan, isi tidaklah begitu penting.

"Kamu, Mahar? Aku Awan! Awas! Awas! Awas! Kalau tidak mau berteman denganku, bisa hujan!"

Itu adalah perkenalan yang paling membekas dalam otakku, seakan-akan memang seharusnya begitu, setidaknya untuk sekarang. Karena nyatanya, Awan dekat dengan semua orang, tidak ada terkecuali. Aku kira, Awan adalah dewi underrated yang cuma manusia-manusia kolong meja dan penambang yang sudah kenal habitatnya saja yang bisa menemukannya. Dan aku salah satu dari mereka. Ternyata salah besar, tapi positifnya, aku tetap salah-satunya.

Awan tahu semua tentangku, sejak SMP, aku si bocah tukang merindu ini sering bimbang dalam melukis sesuatu. Segala sesuatu yang aku lukis adalah karena Awan. Semua karena saran-sarannya. Begitu menginjak masa SMA, Awan mulai sedikit menjauh, karena dia ingin menjadi dokter. Aku? Masing seorang pemimpi yang masih mau bermimpi.

Masa SMA, aku berteman dengan Andre Madre Haliman. Andre ini seorang kapten tim sepakbola sekolah, yang sangat tampan, paling tampan dan akan selalu tampan, begitu setidaknya rangkaian kata yang ada di otak kecilnya. Terlalu banyak membaca sastra, kata-katanya berima dan serba indah.

"Oh... Mahar... Madu dan racun, Sahabatku. Sudikah dikau membelikanku seperangkat soto ayam kantin? Daku lapar... Sangat lapar...."

"Begitu? Mana uangnya?"

"Aduh... Cacing-cacing di perut daku menggeliat ke sana ke mari mencari makna kelaparan, bukank---"

Ya, dia mudah sekali memanfaatkan orang, lebih tepatnya bukan memanfaatkan, tapi membuat bosan. Bayangkan, kalau kamu ngeyel ketika ngobrol dengannya, berapa buku puisi yang akan tercipta? Terlalu banyak, penerbit nanti kebanyakan pekerjaan. Di balik itu, aku bersyukur berkawan dengan Andre, karena dia aku bisa mendapat ide-ide bagus. Di sela-sela otak kecilnya, tersimpan ide-ide nyeleneh yang betul-betul mustahil dipikirkan oleh manusia biasa. Dia pernah memberiku ide untuk membuat lukisan bola yang sedang nongkrong di warung, maksudnya apa coba?

"Aku baca komik Tsubasa, Har. Roberto bilang, bola adalah teman. Jadi bola juga bisa diajak ngobrol politik begitu, Har? Bisa dihutangi juga?"

Memang sangat aneh, bukan aneh lagi, lebih ke bodoh. Dia betul-betul menganggap perumpamaan sebagai kenyataan, sangat memusingkan.

Setelah SMA, ayahku bangkrut dan pergi lebih jauh dari sebelumnya, untuk mencari kerja. Aku, diam, menghabiskan waktu seperti biasa, hanya tidak melanjutkan sekolah saja, bukan masalah besar. Setidaknya itu yang ada di otakku, padahal nantinya itu akan menjadi alasan aku harus jauh dari Awan. Tapi, setelah putus tidak melanjutkan sekolah, Awan semakin sering datang ke rumah.

"Oh begitu? Saya tidak boleh datang lagi? Kacang lupa kulit ya? Kamu ndak ingat siapa yang menemanimu kalau lagi mimpi-mimpi itu?"

Lega, Awan mengerti aku, tapi bapaknya tidak. Pernah suatu ketika, rasanya beliau tahu, perasaanku kepada Awan. Diberitahunya kisi-kisi mendekati Awan.

"Awan ini anak saya, saya mau yang terbaik."

Sedikit membingungkan arahnya kemana, tapi syukurnya aku cukup mengerti. Dan mulai saat itu, aku sedikit menjauh dari Awan, walau tidak bisa. Sialnya, Awan semakin mendekat, akhirnya aku berdamai. Kupecahkan tabunganku, dan aku cari perguruan tinggi yang cocok dengan kantongku. Saat itu, entah kenapa yang terpikir olehku hanyalah Jogja, jadi aku mencari sekitaran Jogja, dan ketemu.

Siang dan malam aku gelisah memikirkan segala kemungkinan yang ada dan caraku menjelaskan kepada Awan. Hingga, tibalah saat itu.

"Har, kau ini ada apa? Memikirkan perempuan lain?"

"E-enak saja, aku hanya berpikir untuk melanjutkan kuliah ke Jogja, tanah impianku, kebetulan tabunganku sudah cukup. Menurutmu bagaimana?"

Tiba-tiba kata-kata itu muncul, untungnya aku berkata dengan benar, tidak melukai hatinya. Saat itu kami telah pacaran dan saling tidak mau ditinggalkan. Dengan berat hati, aku tinggalkan kampungku, pergi ke tanah yang sebenarnya bukan impianku juga. Semua karena Awan dan hanya untuk Awan.

Aku berpisah dengan Awan setelah menghabiskan hari terakhir sebelum keberangkatan di ujung desa. Tempat yang nantinya akan sangat bersejarah dan selalu terbayang di otakku bahkan di luar kepala.

"Tunggu aku, Wan. Aku pasti kembali."

Surat Dari AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang