10 Tahun

11 3 4
                                    

"Mas, anak-anak (Langit Kencana & Kumala Arif) minta untuk diajak ke rumah mbok Darmi, kami kan belum pernah ke sana."

Kalau dipikir-pikir, aku sudah tidak pernah ke sana semenjak diungsikan ke kontrakan milik mbok Darmi yang jauh dari rumahnya itu. Sebaiknya memang begitu, kembali, sowan dan mengobrol sebentar melepas cerita-cerita lama.

"Oke, sore aja."

Kami berangkat menaiki mobil yang aku beli dengan hasil keringat menjadi ilustrator penerbit selama bertahun-tahun, ditambah pekerjaan sampingan lain. Aku sudah jarang bermimpi, tapi masih sering memandang awan, seperti ada yang hilang, mungkin mbok Darmi tahu apa yang hilang? Nanti coba aku tanya.

"Mas, mbok Darmi orangnya seperti apa? Jahat?"

"B-baik! Sekali."

"Tapi kenapa kamu pindah ke kontrakan?"

"Kenapa ya? Sudah lupa, mungkin kurang nyaman? Atau kenapa ya?"

Kenapa? Kenapa aku pindah ke kontrakan ya? Semenjak menikah, pikunku semakin membatu. Nanti juga aku akan bertanya itu, semoga terjawab semua.

"Rin? Bawa apa untuk mbok Darmi?"

"Aduh, mas, saya ndak bawa apa-apa, apa perlu beli dulu?"

Sebenarnya tidak perlu, hanya ingin mengobrol saja. Pikiranku kacau, menyetir tidak bisa fokus kalau terus melamun, makanya aku bertanya kepada Arini. Setelah beberapa lama menyetir, kami sampai di halaman rumah mbok Darmi, ah, bau-bau ini aku kenal, walau cuma sebulan pernah tinggal.

"MAHAR! KENAPA KAMU BARU DATANG? 10 TAHUN? BEGITU CARAMU MENGHINDAR?"

Apa? Apa yang terjadi? Aku tidak menghindari siapapun, hanya tidak sempat ke sini saja. Lagipula, apa yang dibicarakan mbok Darmi? Menghindar? Ini tidak ada di kamusku.

"Saya Arini mbok, istri Mahar, ada apa ya?"

"Oh ini, cantik, pinter kamu milihnya. Itu, 10 tahun lalu, dari tahun 94 sampai 2000, ada orang mengirim 72 surat, sekali dalam sebulan, ndak pernah absen, tulisannya untuk Mahar, siapa toh?"

Aku kaget, Arini gelisah. Tentu kaget bukan main, lantas aku minta surat-surat itu, untuk kemudian segera aku baca.

"Ada suratnya?"

"Masih, sebentar"

Benar saja, sebendel surat dalam kardus, beserta beberapa gambar dan foto yang turut dikirim bersama surat itu. Aku mengorek semua surat itu dan membacanya di pojokan halaman, persis di pojokan. Samar-samar, aku mendengar Arini mendesak mbok Darmi.

"Siapa sih, mbok?"

"Ndak ngerti, nduk. Saya ndak berani baca."

Aku kaget, semuanya berputar dalam otakku, membangunkan ingatan-ingatan yang bahkan tidak pernah aku sadari keberadaannya. Aku terdiam kemudian menangis berteriak.

"AWAN!"

Arini kebingungan, bertanya-tanya, siapa sebenarnya Awan? Kenapa dia mengirim surat dan lain-lain.

Aku menceritakan semuanya, Arini terduduk lemas, tangannya mengepal seperti ingin memukulku.

"Pukul saja ndak apa-apa, aku salah, Rin."

"Kirimi dia surat balasan, Mas."

"Pasti, apa lagi? Supaya kau benar-benar percaya kalau aku benar-benar kehilangan ingatan tentang itu?"

"Kita cari kampungmu. Pulang. Katakan padanya."

Hari itu, aku dan Arini terduduk lemas menghadapi kenyataan.

Surat Dari AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang