Yang Terlupakan

10 2 0
                                    

Bukan kenginanku kalau Mahar pergi ke Jogja, aku hanya mendukungnya. Segala keputusan yang Mahar buat, pasti ada alasannya. Jogja itu jauh, tidak mungkin dia hanya bermain-main dan bermimpi di sana. Aku senang dengan jiwa pemimpinya, tapi dia tidak segila kedengarannya. Dia memang mampu ngubah bentuk awan dalam otaknya, tapi itu bukan berarti awan benar-benar berubah. Semenjak kepergiannya, aku sakit-sakitan, terlalu banyak hal yang aku pikirkan, semua tentang Mahar. Beberapa minggu tak ada kabar, aku semakin gelisah, mulai meracau ke mana-mana. Makan rasanya hambar, hanya memikirkan Mahar. Ini memang sedikit berlebihan, bahkan sangat berlebihan, tapi, Mahar segalanya bagiku, tanpa Mahar, semua ceritaku tidaklah ada, tidak ada teman-temanku, tidak ada Ning, tidak ada Dayat. Hanya aku sendiri sedang putus asa karena pembandingan diri.

Sungguh, aku takut kehilangan Mahar. Satu bulan setelah surat terakhirnya, tak ada kabar, aku semakin gelisah, seakan-akan memang diwajibkan begitu. Semalam suntuk aku memikirkan ada apa dengannya, sedang apa dia dan kenapa dia tidak mengabari sama sekali, semuanya berputar dalam otakku. Pikiran Mahar terasa nyata, sangat nyata, sebegitu nyatanya sampai aku seperti orang gila. Sekarang aku bisa melakukan apa yang Mahar lakukan, mengubah bentuk awan, tapi bukan sesuai keinginanku. Kalah sakti, tapi ini membuatku semakin gelisah.

Aku bercerita kepada Ning tentang hal ini, Ning tidak punya jawaban. Dayat juga begitu, simpati muncul dari sorot matanya, begitu terang sampai mengalahkan lampu mobil yang baru dibeli. Mereka sekarang sepasang kekasih, Ning berhasil mengatakan perasaannya, Dayat ternyata juga serupa. Mereka saling berbagi cinta kasih, karenaku. Tapi aku? seperti kehilangan cinta dan hanya butuh kasih. Terombang-ambing pada bayangan rindu yang menusuk setiap pintu keluar pikiran, dikunci bersama pula kenangan yang semakin lama semakin pekat.

Ah, aku mengingatnya, Mahar punya sahabat di kampung sebelah, aku datangi rumahnya, berbincang sejenak dengannya. Andre Madre Haliman, pria yang katanya sangat tampan, paling tampan dan akan selalu tampan.

"Permisi, Andre? Aku Awan, temannya Mahar. Boleh ngobrol sebentar?"

"Teman apa kekasih? Hayo?"

"Terserahmu menyebutnya apa, kamu dengar kabar Mahar? Ada?"

"Oh... Awan, seharusnya dikau yang tahu, dikau pacarnya, daku bukan."

"Jelas kamu bukan pacarnya, Mahar tidak begitu."

"Daku hanya bercanda, setelah pamit ke Jogja, Mahar tiada mengabariku, bahkan pamitpun daku dengar dari bundaku."

"Begitu? Kalau ada kabar, beri tahu aku ya!"

Mahar hilang, hilang tanpa jejak. Seharian aku merenung di tepi sungai ujung desa, tempat biasa kami bertemu. Memandangi awan seharian, bentuknya macam-macam, motor, mobil, permen, kucing, kuda dan lain sebagainya, sudah aku lihat. Memikirkan Mahar, membuatku tidak bisa fokus dalam bekerja, dipecat kemudian. Setiap hari kerjaku sekarang hanya bolak-balik kantor balai desa, mencari surat dari Mahar, kalau ada.

Sangat berlebihan, tapi hidupku kosong, tanpa Mahar, tanpa kabar. Setelah dipecat, aku masih sering bertemu Ning dan Dayat, mereka sering datang mampir untuk menghiburku. Bunda khawatir, berulang kali menanyakan Mahar, aku tidak bisa menjawabnya. Bapak diam saja, seperti tidak terjadi apa-apa.

Tapi aku menderita, semakin melemah. Hingga tiga bulan berlalu tak ada kabar, aku ingat mempunyai alamat rumah Mahar (lebih tepatnya bibinya). Jika aku pergi ke sana, bapak pasti marah. Maka kujahit kata-kata dalam surat, dalam amplop, yang kututup rapat-rapat. Lantas aku kirim. Dengan dikirimnya surat itu, aku berharap Mahar kembali, atau setidaknya aku tahu kabarnya.

Karena sungguh, walaupun berlebihan, untuk seseorang yang tanpa kabar selama tiga bulan, ini tidaklah normal, apa lagi aku kekasihnya. Aku betul-betul merindukannya.

Surat Dari AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang