Ada Yang Kembali

9 2 0
                                    

Semakin lama mobilku melaju, semakin kencang sabuk pengamannya, semakin gelisah, semakin canggung dengan Arini. Harusnya tidak begini, situasi yang begitu serba tiba-tiba. Mustinya kemarin kami tidak ke rumah mbok Darmi, supaya tidak terjadi hal seperti ini. Tapi bagaimana? Apa aku mau melupakan Awan selamanya? Tentu tidak mungkin.

Kebodohanku sudah cukup banyak, sangat banyak malahan. Semua hilang, 10 tahun tanpa kabar, hanya memboboti pikirannya, bukankah itu sangat jahat? Semua ini begitu tidak terduga. Tiba-tiba saja aku lupa, kemudian aku ingat 10 tahun setelahnya.

"Rin, dosa saya sebesar apa?"

"Loh, saya tidak tau, bukan urusan saya seharusnya."

Arini nampak lain, cemburu buta. Dia bahkan tak pernah mengenal Awan, hanya lewat surat, yang bahkan tidak sama sekali dia baca.

"Awan mengajarkanku semuanya, Rin."

"Semua?"

"Tentang kepercayaan ini, kalau ndak ada dia ya saya pasti tidak bisa menjadi suamimu yang kece ini."

"Gombalmu sudah basi."

Usaha, hanya usaha. Tidak berhasil, belum berhasil. Kata-kata yang keluar hanya ditepis sebelum penuh. Otakku dipecah menjadi 2. Di sisi lain, aku musti memikirkan Arini, yang sekarang istriku. Tapi di sisi lain, Awan bagaimana? Masihkah dia menunggu ku? Bagaimana aku menjelaskan semua ini? Aakankah dia mendengarkan? Serba bingung.

Dua orang ini bersebrangan, Arini selalu penuh kalkulasi, penuh perhitungan matang, tidak suka bermimpi, tidak frontal dalam menyukaiku. Sedang Awan? Dia blak-blakan, tidak menyiakan kesempatan apapun, semua dia sikat, mau bermimpi? Oke sekali.

Dua orang ini tidak bisa saling tergantikan, disembunyikan salah satunya, lebih tepatnya hilang seperti ini saja sudah bikin gemetar. Awan mau menerimaku? Hanya harapan.

Kembali ke kampung setelah menghilang selama 10 tahun, apa kata orang? Kacang lupa kulit? Peduli apa? Tidak ada.

Apalah aku, penjual kayu bakar, yang orang tuanya mengejar uang sampai melupakan segalanya? Pemimpi? Bukan lagi.

"Dirgantara Mahar Mengguruh! Pengamat awan! Calon pelukis besar!"

Tidak sesuai, hanya mirip-mirip. Jiwa ini menolak, mungkin karena tidak ada Awan. Dia seharunya yang mendukung semua ini, malah aku melupakannya. Tapi nasi sudah menjadi bubur, Arini sudah menjadi istriku, dan sama pengertiannya.

Tapi Awan? Apa dia menerima kedatanganku? Dalam tulisan terakhirnya, aku tidak bisa membaca maksudnya, apa dia menyerah atau apa? Aku tidak tahu. Yang pasti, Aku sudah terlanjur punya Arini saat melupakannya, dan tentunya Arini, tidak bisa ditinggalkan begitu saja, aku sudah mencintainya.

Perlahan, aku lihat papan nama jalan besar melintang di angkasa, minindih awan-awan, Selamat Datang. Papan itu menyambut kedatanganku, bahkan lebih hangat dari apa yang akan aku dapatkan. Sedikit hujan, gerimis yang semakin menjadi-jadi, menambah kecanggunganku dengan Arini, istriku.

"Aku dan Awan, aku tau kamu mungkin tak suka mendengarnya, tapi, aku bingung, posisi apa yang sedang aku hadapi? Bukankah ini terlalu berat?"

"Ya, tidak."

"Damai deh, Rin. Aku ndak bisa ngerti."

"Ya, tidak. Kamu yang memulai semua ini, Mas. Bencana tidak akan datang menyusul kalau kamu tidak memulai. Konsekuensi, musti tanggung jawab."

Menampar, memang yang ingin pergi ke Jogja itu aku, dan harusnya untuk Awan. Semua ini di luar rencana, tiba-tiba aku dihajar 3 pemabuk yang hampir menghancurkan hidupku, dan saat itu, harapan datang dari Arini. Entah apa yang akan dikatakan Awan, ini tidak lebih mengerikan kalau hanya bermimpi, tapi sekarang posisinya dalam menghadapi kenyataan.

"Tidak usah ditunggu, Wan. Aku kembali, sesuai janjiku. Walau sudah basi."


Surat Dari AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang