Surat Terakhir

8 2 0
                                    

Dear Mahar,

Sudah 6 tahun sejak pertama kali aku mengirimu surat, dan selama 6 tahun itu juga aku menunggumu dengan mengirim surat hampir sebulan sekali. Namun kemana kau? Pertanyaan yang sama yang kuketik di mesin ketik balai desa hampir di setiap suratku. Aku menunggumu seperti patung kucing toko mandarin kau tahu? Ah kau pasti tak mau tahu. Aku juga yakin kau pasti sudah memiliki apa namanya? Ah iya, pacar atau hubungan apapun itu, bagiku sekarang itu hanya bualan tolol. Lalu kau melupakanku begitu saja? Oh iya aku lupa, aku ini kan gadis desa yang tidak gaul dan apa? Tidak bisa berhitung? Tidak bisa mengatur saham dan hanya mengerti bertani setiap hari membantu ibu. Itupun tugasku hanya menggoyang-goyangkan tali kantong plastik agar burung-burung tak memakan padi yang susah payah ditanam ibuku.

Ah, apa barangkali aku kalah cantik? Sampai kau lupa waktu dengan kecantikan orang-orang Jogja sana? Ah, percuma. Sampai lumutan juga aku tidak akan mendapat jawaban darimu.

Ngomong-ngomong, Har. Walaupun aku tahu kau tak akan membacanya, tapi setidaknya aku lega mengirim rasa kesalku padamu. Dan kalau kau bacapun, ini akan menjadi surat terakhir yang kukirimkan padamu. Sudah kebal aku dengan rindumu, sudah bebal juga aku tak mau meninggalkanmu. Halusinasiku semakin parah kau tahu, sekarang aku mampu membuat pesawat dari remahan biskuit. Kurang gila apa aku sekarang? Muak aku menunggumu, muak aku menghadapi semuanya.

Kalau dipikir-pikir, untuk apa aku mengirimimu surat sebulan sekali selama 6 tahun ya? Pandanganku seperti dibutakan dengan kerinduan. Padahal, mengenalmu saja aku tak katam, mungkin saja aku hanya mencintaimu seorang diri, menganggap kita adalah dua ekor angsa yang saling mencintai dan melengkapi seperti di undangan undangan pernikahan.

Ah, sudahlah, Har. Aku akan merelakanmu tak kembali, walaupun begitu aku akan tetap menunggu dan menanti setidaknya sebuah surat jawaban darimu. Entah pahit, entah menyenangkan atau entah kapan. Aku akan mengirimkan surat ini lewat pos kilat, walau aku tahu kau mungkin juga tak akan membacanya cepat cepat. Suratku yang 6 tahun lalu saja tidak pernah kau jawab sampai sekarang. Sungguh sebuah harapan sia- sia, tapi semenyesal-menyesalnya, tak pernah aku membuat seakan akan pertemuan kita ini sia-sia.

Awan, Sekarang bukan kekasihmu (barangkali)

Malang, 30 November 2000

Surat Dari AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang