Bab 6 - Penguntit

57 20 7
                                    

SYAKIRA

Keadaan sekolah terasa mulai sepi saat aku dan Dirga keluar dari ruangan Pak Mirza. Pak Mirza memberi pengarahan padaku dan Dirga mengenai olimpiade yang akan kami ikuti bulan depan. Awalnya hanya Dirga yang akan mengikuti olimpiade tersebut, tetapi mendadak pemberitahuan bahwa ada perubahan dari panitia olimpiade, mengharuskan aku ikut berpartisipasi.

Aku mengeluarkan ponsel yang dari tadi sudah bergetar, tetapi kuabaikan karena masih berbicara dengan Pak Mirza. Tertera nama Mia di sana.

“Halo, Mi?” sapaku.

Dirga belum pergi, masih memperhatikan aku yang menerima telpon dari Mia.

“Lo duluan aja,” kataku pada Dirga dengan isyarat menyuruhnya pergi. Bukan Dirga namanya kalau tidak menjengkelkan. Dia tetap diam menungguku.

“Udah kelar, Ra? Gue sama Karin udah duluan ke rumah Disa.”

“Lo udah di rumah Disa? Bukannya tadi lo bilang mau nunggu gue di kantin sama Karin?”

“Iya, itu sebelum gue tau ternyata urusan lo lama selesainya."

Aku mengernyit heran, melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan. Sudah sejam ternyata aku berdiskusi dengan Dirga dan Pak Mirza. Dan diskusi tersebut tidak memiliki ujung yang pasti.

Kami berdiskusi mengenai bagaimana jadwal dan sistem pembelajaran yang akan aku dan Dirga terima. Berakhir dengan fleksibel antara aku dan Dirga, karena Pak Mirza memiliki jadwal yang bertabrakan dengan jam kosong Dirga katanya.

“Yaudah gue nyusul, Mi, naik ojek online, kirim alamatnya. Ini gue langsung ke sana,” ujarku mematikan sambungan telepon. Aku menatap layar ponsel dan melihat baterai yang menipis, sepertinya aku harus naik angkutan umum. Getar ponselku menandakan notifikasi pesan dari Mia yang mengirimkan alamat rumah Disa.

“Kenapa? Ditekuk banget itu muka?” tanya Dirga dan kuabaikan.

Aku membalikkan badan, bersiap pergi.

“Ikut gue,” perkataan Dirga membuat aku menoleh. “Cepetan, ikut aja. Bentar.”

Sepertinya aku sedang malas berdebat dan berujung dengan mengikuti arah langkah Dirga yang berbelok ke aula sekolah.

“Mau ngapain?”

“Banyak tanya.”

Dirga berujar ketus yang pengin banget aku balas, BANYAK MAU. Tapi urung, aku lebih memilih diam.

Saat memasuki aula, aku melihat anak cheers sedang latihan. Sepertinya itu Vania. Disa sempat memberitahukan aku kemarin saat berpapasan di koridor. Dan, ternyata itu memang benar Vania. Kenapa Dirga membawaku kalau untuk menemui Vania?

“Dirga,” Vania menyapa Dirga duluan. Lalu tatapannya beralih menatap ku dengan tatapan bingung sepertinya heran kenapa aku datang bersama Dirga.

“Udah mau pulang? Eh, lo gak ngebasket?” tanya Vania yang menyadari Dirga masih memakai seragam sekolah lengkap. “Gue belum selesai latihan.”

“Gue mau nganterin Ra, lo pulang sendiri gak papa kan?” tanya Dirga yang membuat Vania sedikit terkejut.

Vania menatap ku dengan tatapan yang aku tangkap sebagai tatapan gak suka sama kehadiranku.

“Gue gak ada minta lo buat nganterin gue, ya. Gue bisa sendiri,” ujarku ingin berbalik, tetapi Dirga menahanku.

“Diam, dulu.”

“Kalo lo udah ada janji sama yang lain, tepatin lah. Ribet lo,”

“Sekali-kali dengar omongan gue gak bisa ya, Ra? Ngelawan mulu,” ujar Dirga membuat aku diam.

Own Fault of Feeling || [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang