Bab 20 - Ponsel

40 14 0
                                    

SYAKIRA

Aku harus berterimakasih pada Ryan. Berkat dia, pagi ini mataku tidak membengkak. Kalau saja Ryan membiarkan aku di dalam kamar, mungkin aku masih terus termenung dengan sesekali menangis menghabiskan sisa air mata semalam.

Untungnya, Ryan datang ke kamarku dan mengajakku keluar. "Cari angin malam, Ra," ujarnya dengan mengambil asal jaket dari dalam lemari dan memaksaku untuk bangkit dari kasur.

Karena biasanya mataku memang akan membengkak di pagi hari bila aku menangis di malam sebelumnya.

"Gue traktir es krim," Ryan memberikanku es krim saat kami berhenti di salah satu minimarket yang lokasinya lumayan jauh dari rumah. "Gue liat di internet, katanya cokelat dan es krim bagus muat balikin mood. Kalau gue traktir cokelat, mau?" aku mendelik yang hanya dibalas Ryan dengan tertawa. "Lagian, bisa-bisanya cewek gak suka cokelat, langka banget,"

Ryan mengajakku berkeliling cukup lama, menikmati angin malam. Setidaknya perasaanku bisa sedikit lega begitu kembali ke rumah dan kembali rebah di kasur.

"Nanti Mama jemput," suara Mama membuat lamunanku buyar. Kami sudah sampai di sekolah.

Pagi ini, aku dan Ryan diantarkan Mama ke sekolah karena Mama sedang luang katanya. Tidak tau benar-benar luang atau memang merasa harus menghiburku, karena Mama bilang akan menjemput sepulang sekolah dan mentraktirku makan apapun yang aku mau. Karena memang, malam tadi dan sarapan pagiku, hanya beberapa suap saja yang kumakan.

Ryan sudah turun lebih dulu saat aku masih menyalim Mama.

"Dah, Ma.." ujarku melambai saat Mama mulai menjauh.

Aku melangkah ke kelas yang masih sepi, termasuk Disa juga belum datang. Hanya untuk meletakkan tas dan kembali keluar. Aku berencana pergi ke perpustakaan sekolah, mencari buku untuk kupinjam. Mempersiapkan diri untuk pekan olahraga dan kesenian yang salah satu perlombaannya yaitu Lomba Cerdas Cermat (LCC).

Awalnya aku menolak. Tetapi teman sekelasku memintaku, lebih ke arah memaksa untuk menjadikan aku perwakilan kelas dengan alasan karena aku ikut olimpiade dengan Dirga. Padahalkan itu berbeda. Olimpiade benar-benar berbeda dan LCC. Dan lagi, inikan bukan cabang kesenian maupun olahraga. Kenapa harus masuk di kegiatan pekan olahraga dan kesenian, sih?

Saat melewati kelas XI IPA-1, aku tidak sengaja berpapasan dengan Dirga, dan.. Vania.

Bukannya kemarin kedatangan Dirga ke rumahku untuk minta maaf? Lalu kenapa pagi ini dia malah terlihat datang bersama Vania?

Apa kehadiranku benar-benar lelucon baginya?

"Ra," Dirga mencoba meraih lenganku dan aku menghentakkannya, membuat Dirga melepaskan kembali.

"Gue sibuk!" perkataan yang entah keberapa kali sudah menjadi alasan sejak kemarin setiap Dirga ingin mengajakku berbicara.

**

"Gausah sekeras itu, Ra. Yang penting kelas kita udah ada perwakilan aja, gausah diseriusin," ujar Disa begitu melihat aku memeluk buku LCC yang pagi tadi sempat kupinjam di perpustakaan. Dan sekarang, aku berencana menghabiskan waktu istirahat pertamaku di perpustakaan dengan buku itu.

Kalau ingin berpendapat tingkahku ini sebagai salah satu bentuk pertahananku untuk tetap menjauhi Dirga, aku tidak akan membantah. Karena ya itu memang alasan utama sebenarnya.

Aku memasuki perpustakaan dan mengambil duduk di salah satu bangku yang keberadannya tidak begitu pojok. Membuka buku yang harus kupelajari.

Aku hanya fokus lima menit pertama, karena setelahnya pikiranku kembali buyar dengan Dirga sebagi tokoh utama. Aku ingat perkataan Disa di kelas tadi. "Dirga dan Vania ternyata tetanggaan, Ra. Mereka sahabatan sejak kecil. Dan soal Dirga menolak perasaan Vania, itu semua bohong,"

Own Fault of Feeling || [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang