Bab 16 - Gerah

41 17 4
                                    

SYAKIRA

Aku melangkah memasuki kamar Ryan dengan wajah ditekuk. Tampak Ryan duduk di kursi meja belajar tengah bermain game online di tabletnya.

"Ketuk dulu, Ra," ujarnya sekilas menatapku lalu kembali melihat layar tabletnya.

"Dek," panggilku dan menjatuhkan diri ke kasur milik Ryan.

"Jangan sekali-kali lo manggil gue adek,"

Jadi gue manggil dia abang gitu? Ya kali.

"Jijik gue, Ra. Geli. Agak berat aja gue terima kenyataan kalau ternyata gue ini adek lo," sambungnya.

Aku duduk sejenak untuk menghadiahi Ryan lemparan bantal yang berhasil mengenainya dan kembali menjatuhkan diri

"Ryan," panggilku memelas.

"Apa, Ra?" Ryan mematikan tabletnya lalu memutar kursi menghadapku. "Berat banget masalah lo? Jelek banget itu muka,"

"Lo beneran gak mau nonton final voli?" tanyaku melirik jam yang ada di atas nakas, sekitar sejam setengah lagi pertandingan akan dimulai.

"Gak dikasih Mama lo nonton?"

"Karena lo gak mau nemenin gue. Udah gue bilang gue bisa sendiri naik ojek juga gak dikasih,"

"Sekolah lo juga sih, kenapa coba harus masuk final. Kalo enggak kan lo gak perlu repot-repot nonton."

"Gak gitu ya konsepnya, Ry!" Aku beralih untuk duduk dan melipat kaki di atas kasur Ryan. "Lo pengen nonton band, gue turutin ikut. Sekarang lo gak ngerasa utang budi?"

Ryan menggeleng, "Enggaklah!" ujarnya beranjak memungut bantal dan kembali melemparnya padaku. Ryan tidak benar-benar ingin melempar sebagai balas dendam, hanya agar aku menangkap dan meletakkan kembali bantal ke tempat semula. "Biar gue ngomong sama Mama,"

"Gue udah minta ijin sendiri, gak dikasih. Apalagi lo wakilin,"

"Gue yakin dikasih. Siap-siap sana," ujar Ryan yakin dan meninggalkanku sendirian di kamarnya.

Aku berdecak dan ikut keluar kamar Ryan. Menutup pintu kamarnya dengan kasar lalu beralih masuk ke kamarku, sementara Ryan berjalan menuruni anak tangga.

Hapeku yang kuletakkan di atas meja belajar berdering, menandakan ada panggilan masuk. Nama Disa tertera.

"Halo, Dis,"

"Ra, pake yang ada unsur putih ya."

"Gue gak bisa, Dis,"

"Maksudnya?"

"Gue gak dapat ijin buat keluar,"

Terdengar helaan napas Disa yang gue yakin dia kecewa sama gue. Tapi, bisa apa memangnya gue kalau Mama udah bilang gak boleh keluar.

"Yaudah deh, Ra,"

"Maaf, sampein buat Karin juga," ujarku dan memutus sambungan telepon.

Sangat disayangkan memang malam ini aku harus melewatkan pertandingan final Karin.

Ponselku kembali bergetar menandakan pesan masuk. Nama Dirga tertera.

Pake hoodie. Bawa punya gue juga.

Hanya itu.

Iya, pesannya hanya itu. Apa tidak sebaiknya dia bertanya dulu gue pergi atau enggak?

"Ra!" panggilan Ryan dari luar kamar mengalihkan perhatianku dari ponsel. "Boleh masuk gak?"

"Masuk aja,"

Ryan tidak sepenuhnya masuk, hanya melongokkan kepalanya saja. "Belum ganti baju?"

Own Fault of Feeling || [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang