BAB 3

58 5 0
                                    

Sore ini, kelas diganti menjadi kelas bahasa Arab wajib yang diadakan di aula. Mulai dari kelas satu hingga kelas-kelas berikutnya. Semuanya mengumpul.

“Kelas ini akan diampu oleh Gus Afdhal,” ujar Arafah. Memberi tahu Isrina.

“Gus Afdhal itu yang kemarin diceritakan dua santri itu, ya?”

Arafah terkekeh. “Itu Gus Syamsul.”

Arafah dan Isrina duduk di barisan paling depan. Sesaat sebelum Gus Afdhal masuk. Fatimah lebih dulu mendudukkan diri di samping Isrina. Santri ndalem itu mengulas senyum.

Kelas berjalan dengan lancar, hanya saja mereka was-was, takut jika tiba-tiba Gus Afdhal melayangkan pertanyaan yang tidak mampu mereka jawab. Berbeda dengan Isrina, dia fokus menatap Gus Afdhal dengan santai. Tanpa perasaan takut sedikit pun.

Setelah menulis beberapa kata di papan tulis, Gus Afdhal berbalik. Dia baru sadar jika Fatimah, gadis pujaannya duduk di baris paling depan. Lelaki itu menyuruh semua santriwati menyalin tulisannya. Ini juga merupakan bentuk modus untuk melihat Fatimah secara dekat dan lekat.

Semuanya mulai sibuk menulis. Bisik-bisik dari santri yang duduk di baris kedua membuat Fatimah risi dan berusaha sekuat tenaga untuk fokus.

“Coba kamu lihat, tatapan Gus Afdhal mengarah ke santri baru itu terus.”

Arafah yang mendengarnya jadi ikut melirik Gus Afdhal. Dan benar saja, pandangannya jatuh ke arah Isrina.

“Kamu memang secantik itu, pandangan Gus Afdhal bahkan mengarah kepadamu,” bisik Arafah di telinga Isrina. Gadis itu menghela napas kesal. “Catatlah dengan benar, jangan sibuk mengurusi hal tidak penting,” cetus Isrina. Fokus menyalin tulisan, menghiraukan Arafah.

Sedangkan Fatimah yang mendengar itu semakin menunduk. Membuat Gus Afdhal tersenyum. “Nulisnya jangan terlalu nunduk, nanti pegal.”

Fatimah mengangkat wajah, sedangkan Isrina baru saja menunduk. Semua santri heboh. Mengira pernyataan berisi perhatian itu untuk Isrina, bukan untuk Fatimah.

“Wah, tadi Gus Afdhal benar-benar sampai berani menegur Isrina karena dia menunduk.”

Fatimah terus berjalan, gadis itu merasa sakit ketika perasaannya dia yakini bertepuk sebelah tangan. Sampai dia berhenti ketika sebuah kaki dengan sandal jepit sebagai alasnya menghadang. Kepalanya memaksa mendongak untuk mengetahui pemiliknya.

DEG.

Fatimah ingin menjauh. Dia menggeser tubuhnya ke samping mencari celah untuknya berjalan. “Permisi, Gus.”

Gus Afdhal menyandarkan punggungnya ke tiang. Lelaki itu mengamati Fatimah dengan senyuman. “Silakan, Dik.”

Sesampainya di rumah Kiai Hakim. Gus Afdhal terkejut melihat adik sepupunya sudah duduk di bangku dengan santai. “Kamu pulang sendiri, ‘kan, Syam?” tanyanya.

Gus Syamsul mencibir. “Aku pulang dijemput malaikat.”

“Hush, kalau ngomong!” Nyai Salamah menepuk pundak Gus Samsul. “Kalau diaminkan malaikat, bagaimana?”

Gus Afdhal tertawa keras. “Haha, kasihan kena tegur Bude.”

“Syam, mumpung kamu belum mempunyai tambatan hati. Aku ada rekomendasi santriwati.” Gus Afdhal menarik kursi dan mendudukinya. Tepat di samping Gus Syamsul yang masih memegang kitab.

Nyai Salamah menggeleng-gelengkan kepala. Kemudian beranjak meninggalkan keduanya.

“Mas pikir aku ini enggak laku dan enggak bisa milih sendiri. Sampai mau direkomendasikan santriwati segala.”

Kisah 60 Hari (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang