BAB 9

46 5 0
                                    

Isrina berangkat ke masjid sendirian. Dia tidak terlalu akrab dengan teman-teman yang masih ada di pondok. Sebagian dari mereka memilih tidak pulang sama seperti dirinya, dan ada sebagian yang memang terpaksa tinggal karena masih ada urusan.

Suasana masjid besar di pondok Darussalam tidak seramai biasanya. Tapi tetap, semangat terpancar dari masing-masing santri untuk menyambut bulan Ramadan yang suci. Tarawih pertama dilakukan malam ini. Khusyuk sekali. Nyai Salamah sebagai imam untuk para santriwati itu membacakan sepenggal ayat dari surat-surat dalam Al-Quran. Bagi yang menghayati, yang benar-benar khusyuk dan memahami arti, mungkin saja mereka meneteskan air mata dalam salatnya.

“Mbak Isrina.”

Seusai tarawih. Ada yang mendekat padanya. Isrina tersenyum. Meski dahinya yang mengerut itu membuatnya terlihat jelas tengah kebingungan. Dia tidak mengenal banyak orang, tapi banyak orang mengenalnya.

“Aku Narash.” Mereka bersalaman. Khas anak santri, keduanya bergantian menempelkan tangan pada pipi.

Setelah tarawih ini, para santri melakukan tadarus bersama. Tadarusnya dilakukan dengan cara membaca satu juz Al-Quran dengan bentuk mushaf untuk masing-masing santri. Alasannya adalah agar semuanya membaca. Karena tak ayal jika salah satu sedang membaca. Kebanyakan dari mereka bukan menyimak, tetapi justru melamun atau memikirkan hal yang memang seharusnya tidak perlu dipikirkan.

Jumlah santri yang biasanya memenuhi masjid karena jumlahnya mencapai ribuan, kali ini hanya tersisa--mungkin dua puluh tujuh. Tidak terhitung semua karena pasti ada yang sedang berhalangan. Kemungkinan jikalau ada yang ingin kembali ke pondok. Besok berangkat.

Kali ini, mikrofon diberikan kepada Isrina. Nyai Salamah sudah membaca setengah juz. Ia mengoper mikrofon pada santri yang berada paling dekat dengannya, kemudian nanti dilanjut agar semua santri kebagian. Isrina tersenyum ketika menerimanya. Dia mulai melanjutkan ayat yang tadi dibaca.

Suaranya merdu, semua yang membaca Al-Quran termasuk Nyai Salamah jadi sedikit tidak fokus. Telinga mereka lebih mendengarkan bacaan-bacaan Isrina. Makharijul hurufnya bagus, bacaan tajwidnya pun sesuai. Dan untuk irama, gadis itu memang menguasai karena selain bermodal suara, dia juga menjadi vokal tim hadrah di desa. Maka, hal semacam ini sudah biasa.

Di desa, gadis itu selain terkenal karena memiliki paras yang ayu, juga karena kemampuannya dalam bidang tarik suara. Tak ayal jika tim hadrah di desanya sering diundang untuk menghadiri acara-acara besar seperti maulid nabi, halal bihalal, dan acara-acara besar keagamaan lainnya.

Dia mampu membuat sebagian orang yang hadir terbawa suasana. Gadis itu terlalu menghayati lagu yang dibawa sehingga mengena. Tak jarang pula, dirinya sampai meneteskan air mata. Selain karena rindunya pada Sang Baginda, dia juga memiliki masalah yang membuatnya kian menjadi pribadi yang rapuh.

“Suaramu bagus, Mbak.”

Narash memuji, gadis tinggi itu berjalan beriringan dengan Isrina setelah jam menunjukkan pukul setengah dua belas. Baru selesai tadarusan. Jika seperti ini, maka setiap malam bisa khatam hingga dua kali sekaligus. Belum lagi untuk tiga puluh hari ke depan.

“Gabung ke hadrah, yuk!” ajak Narash. Dia memang menjadi bagian itu.

“Kamu gabung?” Narash mengangguk. “Aku yang nabuh darbuka. Kalau vokal dari mbak-mbak kelas lima.”

“Aku malu, lah. Aku junior sendiri takut disangka sok pintar atau apa.”

“Jangan suuzan, kita di sini thalabul ‘ilmi. Insya Allah mereka juga tahu kok hukum iri pada sesama.”

“Kalau kamu mau, biar nanti aku daftarkan ke ustazah yang mengampu,” tambahnya.

Isrina meminta waktu untuk berpikir. Bukan hal yang perlu dipikirkan seharusnya, karena dia juga mengimpikan hal ini. Hanya saja, sebagai santri masukan baru. Dia perlu menimang lagi.

Kisah 60 Hari (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang