BAB 7

46 5 0
                                    

“Kamu benaran mau pulang?” Isrina memberengut sedih. Arafah sedang berkemas, tadi salah seorang santri menginfokan bahwa ibunya telah datang menjemput.

Arafah menutup ritsleting tas setelah sebagian barangnya sudah masuk. Hanya beberapa pakaian dan kitab-kitab penting. Dijinjingnya tas itu, kemudian digendong di punggung. Dia menatap Isrina yang tengah bersila memandangnya.

“Kamu bisa, hanya satu bulan. Kamu ingat-ingat, deh. Sebelum kamu nyusul, aku tiga bulan tanpa kamu, loh di sini.” Arafah tersenyum. Dia menepuk bahu Isrina. “Bisa, ya? Atau kamu mau ikut aku pulang?”

Isrina menggeleng. Dia lebih baik di pondok meski tanpa Arafah. Teman-teman sekamarnya juga sudah pulang sejam yang lalu. Dia akan sendirian, kesepian di tengah malam. Kebiasaannya bangun memandangi wajah mereka tidak lagi bisa dilakukan untuk sebulan ke depan. Dan saat mereka kembali, apa Isrina bisa memastikan jika dia akan kembali sekamar dengan mereka?

Kamarnya berisi empat orang. Kedua temannya itu berasal dari Lampung, luar Jawa. Berbeda pulau membuat pertemanan terasa lebih menyenangkan. Di mana mereka mesti saling bertoleransi, memperkenalkan budaya masing-masing, dan tentu bisa saling berbagi. Biasanya dari luar pulau, santri tidak sering dikunjungi dan dikirim makanan. Maka dari itu, Arafah yang sering sekali dikunjungi sekaligus dibawakan makanan itu berbagi. Untuknya, Isrina, dan mereka.

“Rin!” Arafah melambaikan tangan. Dia tidak enak jika membuat ibunya menunggu terlalu lama.

“Aku antar kamu, yuk!”

Keduanya berjalan beriringan. Bergandengan tangan di jalan yang sedikit menggunung menuju rumah Kiai Hakim. Hari ini, jadwal dikosongkan. Sebab santri banyak yang pulang. Juga karena menjelang Ramadan. Besok malam tarawih pertama dilaksanakan. Tentunya, Pesantren juga ikut berpartisipasi dalam rangka menyambut bulan suci.

Kemarin para santri ndalem membersihkan masjid dan musala, sedangkan seluruh santri membersihkan lingkungan sekitar pondok.

An-Nadlofatu minal iman. Kebersihan adalah sebagian dari iman. Apalagi menuju bulan Ramadan yang suci. Sudah sepatutnya kita ikut berpartisipasi walau hanya dengan menyingkirkan debu dan daun-daun yang berserakan ini,” dawuh Nyai Salamah kala panas matahari menyengat. Paruh baya dengan jilbab lebar itu ikut berdiri di tengah-tengah santri. Berusaha menyemangati.

Peran pentingnya dalam pesantren tidak membuatnya enggan ikut serta. Ia selalu turun tangan mengawasi kegiatan santri-santrinya. Begitu juga dengan Kiai Hakim. Pendiri Pondok Pesantren Darussalam itu selalu terjun sendiri ke lapangan. Selain pesantren, juga ada sekolah umum seperti, MI, MTs, dan MA. Hanya tidak ada universitas di sana. Namun, di seberang jalan, ada satu universitas menjalin hubungan kerja sama dengan Pondok Pesantren Darussalam, banyak santri yang kuliah di sana dan kembali ke asrama.

“Isrina, Nduk.” Isrina menyalami ibu Arafah. Wanita bertubuh mungil dengan kulit putih yang sangat mirip dengan temannya itu mengelus puncak kepalanya.

“Kamu tidak pulang?” Paruh baya itu mengulas senyum. Isrina menggeleng. “Isrina titip salam saja untuk keluarga di rumah, ya, Bu.”

“Fah, kamu hati-hati.” Isrina memeluk Arafah. Gadis itu mengangguk dalam pelukannya. “Kamu juga betah-betah di sini, ya.”

Seusai Arafah pergi dengan ojek yang dibawa ibunya dari rumah. Isrina kembali ke asrama. Di tengah jalan, dia kembali berpapasan dengan Fatimah. Isrina mengulas senyum, sama seperti kemarin. Fatimah hanya mengangguk, wajahnya datar, dia meneruskan jalan.

“Mbak.” Isrina mendekati Fatimah. Gadis itu tidak ingin terlibat masalah dengan siapa pun di pesantren. Apalagi ketika dirinya benar-benar mantap meyakini bahwa dia tidak merasa melakukan kesalahan.

Kisah 60 Hari (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang