BAB 11

38 5 0
                                    

Fahmi berjalan pelan ke arah dapur. Dia memanggil-manggil nama Fatimah berulang kali. Tapi nihil, gadis itu tak kunjung keluar dan menemuinya.

“Mbak, lihat Mbak Fatimah?” tanyanya pada seorang santri yang lewat.

“Em? Mbak Fatimah sepertinya sedang di masjid. Tadi papasan soalnya.”

“Terima kasih.”

Fahmi berlalu pergi. Dia tidak langsung menyusul Fatimah ke masjid. Mungkin memang benar Fatimah sedang dilanda kesedihan yang dahsyat, makanya dia butuh waktu sendiri untuk bercengkerama dengan Yang Maha Mengetahui.

“Kenapa kamu kembali?” Gus Afdhal meraup wajah frustrasi. Ucapannya menekan.

“A-anu, Mbak Fatimah kemungkinan lagi di masjid, tadi ada yang bilang begitu.”

Helaan napas Gus Afdhal terdengar keras. Dia masuk ke dalam rumah. Seperti biasa, lelaki itu melepaskan peci dari kepala. Rambut ikalnya dibiarkan teracak oleh angin.

Gus Syamsul dan Fahmi berpandangan. Mengapa kisah orang yang sedang jatuh cinta begitu rumit, Gus Afdhal diam-diam mendoakan Fatimah, kemungkinan gadis itu juga balik mendoakan Gus Afdhal. Tapi prasangka menuntun Fatimah bahwa Gus Afdhal malah mendoakan Isrina. Begitu?

Jam menunjukkan pukul setengah tiga, Fatimah ke luar dari masjid. Matanya cukup sembab. Itulah alasannya menutupi wajah dengan sajadah yang diselempangkan di leher. Dia menghabiskan waktunya tadi untuk tadarus Al-Quran.

Dia berjalan menunduk, seperti biasa kakinya melangkah ke arah dapur. Di sana, Fahmi sudah menghadang. Tatapan remaja itu menunjukkan iba. Dia mendekat perlahan.

“Mbak,” sapanya. Dia tidak ingin memancing keributan. Dia hadir sebagai sandaran untuk Fatimah. Dia siap mendengar keluh kesah gadis yang sudah duduk memangku alat salatnya.

“Kamu ngapain ke sini?”

“Ekhem. Aku lagi berbaik hati, Mbak. Kalau kamu mau cerita masalahmu hari ini, Fahmi enggak sama sekali keberatan, kok.”

“Cinta itu menyakitkan, Fahmi. Aku mendoakannya, dia mendoakan orang lain.”

Persis seperti pikirannya tadi. Fatimah memang tengah salah paham. Meski Fahmi sudah bisa menyimpulkan bahwa Fatimah mencintai Gus Afdhal, dia diam. Dia hanya akan mendengar apa yang Fatimah katakan.

“Mbak sudah lelah, bertahun-tahun lamanya perasaan ini Mbak pendam. Nyatanya bukan seperti yang ada di cerita-cerita, di mana mereka berakhir bahagia, cintanya terbalas. Kisahku miris. Mbak tidak ingin menyalahkan siapa pun di sini, hanya Mbak yang harus lebih sadar diri bahwa di matanya, Mbak bukan siapa-siapa.”

Fatimah sudah terlalu lelah memendamnya sendiri. Kehadiran Fahmi saat ini tepat, dia mencurahkan isi hatinya. Gadis itu membenamkan muka di tumpukkan mukena. Bahunya terguncang. Dia menangis lagi. Serapuh ini dirinya dikelabuhi cinta.

Fahmi mengelus bahu Fatimah yang terbalut gamis berwarna biru tua. Seragam khusus untuk para santriwati ndalem.

“Kamu kalau urusan cinta gini lemah, ya, Mbak. Kamu nangis terus, enggak takut puasanya batal?” Fahmi terkekeh. Dia berusaha menghibur sebisanya, juga agar dia bisa memancing Fatimah untuk bercerita lebih jauh tentang perasaannya.

“Memangnya siapa yang Mbak cintai? Dan kenapa kamu bisa menyimpulkan kalau dia tidak membalas perasaanmu?” tanyanya.

“Dia lelaki spesial di pondok ini. Makanya mulai sekarang Mbak harus lebih sadar diri. Yang menginginkannya banyak, Fahmi. Dan Mbak, bagai butiran debu yang terhempas angin. Hanya lewat tanpa dilirik. Kehadirannya mengganggu dan tidak diinginkan.”

Kisah 60 Hari (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang