“Le ... Pakde harus pergi ngisi ceramah ke luar kota. Jadwalnya benar-benar padat. Jadi, bude juga harus ikut. Tolong ngajinya diteruskan, ya,” ujar Kiai Hakim. Lelaki sepuh itu duduk di sofa single. Memangku kitab menghadap kedua keponakannya.
Selain kedua keponakannya itu, dia tidak bisa mengandalkan siapa pun. Karena ketiga putra dan satu putrinya sedang menimba ilmu di luar kota. Keempatnya itu akan pulang saat hari lebaran. Sedangkan si bungsu, dia masih duduk di bangku SMA.
Gus Afdhal dan Gus Syamsul saling pandang. Seolah saling bertanya siapa yang bersedia?
“Syamsul atau Mas Afdhal yang menggantikan?”
“Terserah, ya. Yang penting kalian amanah. Mungkin Pakde dan bude akan lama di sana, jadi Pakde juga minta tolong untuk pantau kondisi pesantren.”
“Kalau begitu, seperti tahun kemarin saja. Biar Syamsul yang melanjutkan ngaji pasaran, dan Afdhal yang mantau pesantren. Biar adil,” papar gus Afdhal. Baik Gus Syamsul maupun Kiai Hakim, keduanya serentak mengangguk menyetujui.
“Mas, kemarin aku ketemu Isrina,” curhat Gus Syamsul saat mereka sudah keluar dari rumah Kiai Hakim.
“Kamu sudah ngungkapin perasaan ke Isrina?!”
“Jangan dulu dong, Syam. 'Kan Mas sudah bilang, jangan mendahului,” tambah Gus Afdhal. Dia ingin terlebih dulu mengutarakan isi hati pada Fatimah.
“Belum, kok. Aku juga syok sih waktu Isrina justru bilang kalau dia enggak pulang karena udah dijodohkan.”
Tatapan Gus Syamsul lurus, kemudian dia langsung duduk setelah sampai di teras rumah Gus Afdhal. Dari rumahnya dan rumah Gus Afdhal, yang paling dekat jaraknya dari rumah Kiai Hakim adalah rumah Gus Afdhal. Musala besar berada tepat di samping kiri rumah Kiai Hakim. Sedangkan rumah keduanya ada di samping kanan.
“Dia udah dijodohkan? Terus keputusan kamu apa?”
Gus Syamsul mengangkat bahu, dia juga bingung langkah yang harus diambil setelahnya.
“Kalau saran Mas, begini. Kamu temui lagi saja Isrina, tanya baik-baik apa benar dia dijodohkan, dan apa alasan dilakukannya perjodohan itu. Selain mungkin kamu bisa menolongnya, kamu juga jadi tahu, ‘kan?”
“Baiklah.”
Sore tiba, pasaran kedua dimulai. Dan semua jadi kaget karena Gus Syamsul yang biasanya datang dan duduk di tempat putra itu kini melanjutkan langkah sampai di depan para jamaah santri.
Dia duduk paling depan. Menyalakan dan mengetes mikrofon. Kemudian mendekatkan pada mulut. “Bismillahirrahmanirrahim ....”
Ngaji dimulai. Isrina yang baru belajar memaknai kitab gundul itu sedikit tersentak kala Gus Syamsul membaca dengan sangat cepat. Tidak seperti kemarin saat Kiai Hakim yang mengajar. Dia sedikit kesusahan. Ingin sekali dia berteriak, “Gus, ngapunten, ngaose kebanteren!”
Begini bakti seorang santri. Akhirnya dia memilih diam saja. Dia mencoret-coret kitab dengan tulisan latin. Hanya yang bisa ditangkap dengan jelas oleh telinga. Karena suara Gus Syamsul tak ayal hanya terdengar seperti seseorang yang tengah bergumam.
Dia menilik para santri yang sebagian juga terbengong menatap Gus Syamsul. Bahkan banyak di antaranya yang sudah menumpukan kepala. Tidur.
Dia jadi ikut memperhatikan lelaki yang masih memandangi kitabnya dan membacakan makna kitab itu dengan cepat. Lisannya berbicara, tetapi dapat Isrina lihat, di tangan kanan, lelaki itu memutar tasbih di bawah bangku.
Begitu istimewa, ya, Gus Syamsul. Hatinya bertasbih, lisannya mengaji.
Isrina menggeleng ketika perkataan itu mampir di benaknya. Dia kembali menunduk memainkan bolpoin. Agar terlihat fokus seperti sedang memaknai kitab seperti yang lain. Gadis yang hobi menyanyi itu menulis lagu dangdut di pinggir tulisan Arab.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah 60 Hari (SELESAI)
Ficțiune adolescențiSiapa yang tidak menginginkan kehidupan remajanya bebas dan mengisinya dengan hal-hal terindah? Isrina Aulia, korban dari keegoisan orang tuanya yang berambisi menjodohkannya dengan orang kaya di desa. Gadis itu terpukul, orang tuanya menghalalkan s...