BAB 17

35 5 0
                                    

Berdiri seorang gadis di sebuah kamar, tubuhnya menghadap dinding. Mengamati tanggal-tanggal yang tertera di kalender. Sudah genap satu bulan ia menimba ilmu di Pesantren Darussalam. Terasa singkat, sejak kedatangannya dulu, dia memang tidak pernah mengeluh tidak betah.

Isrina mengembuskan napas gusar, Tersisa dua pekan menuju lebaran. Otomatis ia akan dijemput pulang dan segera dinikahkan. Dia belum sanggup, Isrina masih ingin banyak belajar. Baik dari segi materi, fisik, dan agama. Isrina mengaku belum siap sepenuhnya.

Dilema dirasa, dia ingat kejadian beberapa waktu lalu. Di mana dia dihadang Gus Samsul setelah mengaji pasaran.

“Mbak, apa pun yang terjadi dalam hidupmu. Baik perjodohan atau bahkan ada yang lebih dari itu. Saya mohon, bertahanlah! Seperti saya yang bertahan untuk kelanjutan hubungan kita.”

Isrina menitikkan air mata, dia bisa melihat kesungguhan di wajah lelaki itu. “Gus, saya sudah ada calon. Tidak baik rasanya jika njenengan menaruh harap pada saya.”

“Saya tidak peduli. Masih ada kesempatan. Jika kamu memang tidak ingin dijodohkan. Pilihlah saya, kita berjuang bersama untuk menggagalkan pernikahan itu.”

Sekelebat bayangan itu lagi-lagi membuat setitik air bening luruh dari mata cantik Isrina.

Dia mengakui perasaannya sekarang, hatinya benar sudah terikat dengan lelaki yang menyandang status gus di pesantren. Bagaimana dia bisa menolak pesona Gus Samsul. Lelaki itu terlalu sempurna, ratusan santriwati mengidamkan dan pilihan lelaki itu justru jatuh padanya. Ini memang salah, tapi Isrina juga tidak bisa melakukan apa-apa. Perasaan suka itu tumbuh seiring dengan lamanya mereka berjumpa dan bersitatap.

Isrina membuka laci. Dia mengambil tasbih kecil yang mungkin terbuat dari kayu. Ada ukiran kalimat thayyibah  yang sangat cantik. Hanya terdapat tiga puluh tiga butir saja. Dipakainya kembali ke lengan kanan. Isrina tersenyum. Sampai saat ini, dia belum tahu siapa pemiliknya.

Beberapa hari lalu, sengaja dia lepas karena banyak yang ingin tahu dan mencampuri urusan tentang tasbih ini.

Tok! Tok! Tok!

Gedoran dari luar semakin terdengar keras ketika Isrina beberapa menit tak kunjung keluar dan membukanya.

“Ada apa, Mbak?”

“Nyai Romlah seda, ayo kita ke rumah Gus Afdhal. Sebagian besar santri yang masih tinggal di pondok sudah pergi ke sana.”

Saat memasuki rumah, suasana haru begitu mendominasi. Nyai Romlah,  ibunda Nyai Salamah sudah wafat. Jenazahnya terbentang di tengah-tengah ruang tamu yang luas. Di samping kanan dan kiri ada anak-anak, cucu, dan saudara-saudara lainnya. Mereka membacakan surat yasin. Kemudian Isrina yang baru datang itu disodorkan satu juz Al-Qur’an.

Dia ikut duduk, mengaji. Dia sempat melirik keluarga yang sama sekali tidak meneteskan air mata. Tapi semua keluarga sigap mengaji dan mendoakannya.

Dia bangkit berdiri ketika jenazah Nyai Romlah yang sudah dimandikan dan dikafani itu digotong ke keranda, dibawa ke mushola, santri putra ikut menyalati. Sementara santriwati masih berada di rumah.

Barulah ketika keranda itu dibawa ke luar dari masjid hendak dikebumikan. Nyai Salamah yang ikut menggiring di belakang itu terlihat mengusap air mata.

Laa ila ha illallah ....
Laa ila ha illallah ....
Laa ila ha illallah ....
Muhammadun rasulullah.

Jenazah dimakamkan tidak jauh dari asrama. Ada tempat khusus untuk makam-makam orang dalam seperti kiai, nyai, asaatidz-asaatidzah juga keluarga yang lain. Terletak sedikit lebih jauh dari asrama. Ada satu lahan yang memang milik Kiai Hakim dijadikan makam. Keluar dari area pesantren, berada kurang lebih tujuh kilo meter dari ndalem.

Kisah 60 Hari (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang