BAB 19

32 4 0
                                    

“Gimana, Nduk? Mau berangkat sekarang?”

“Iya, Bu. Ini udah, ‘kan segini aja berasnya,” jawab Isrina sembari menggeledah tas. Dia akan berangkat kembali ke pondok. Menunaikan zakat fitrah pada kiai Hakim.

Ibu Arafah mengangguk. Paruh baya itu sudah bersiap dengan gamis polos berwarna coklat tua. Mereka akan berangkat dengan dua ojek seperti biasa. Ayah Arafah termasuk orang sibuk di desa. Tidak bisa mengantar putrinya yang hendak berangkat.

“Eh, Nduk. Sebelum berangkat. Sekarang kamu ke rumah Isrina dulu. Pamitan sekalian sama ibunya, siapa tahu beliau mau nitip sesuatu buat temanmu.”

Arafah mengangguk. Lantas langsung berjalan ke rumah Isrina yang sedikit jauh dari rumahnya.

“Assalamu’alaikum.”

Jawaban salam terdengar. Ibu Isrina berlari tergopoh-gopoh menghampiri. Dengan pakaian daster dan tangan yang kotor sehabis mplocoh, yaitu kegiatan di mana orang-orang yang mempunyai lahan yang ditanami jagung setelah panen itu akan dibuat menyerupai beras. Bisa dimakan sebagai pengganti nasi. Ada beberapa proses yang bisa dilakukan dalam mengolah jenis makanan itu.

Arafah tersenyum. Lekas menjabat tangan kotor ibu Isrina. Menciumnya takzim. Gadis itu masuk dan duduk di bangku.

“Rapi banget, Fah. Mau ke mana ta?”

“Mau zakat fitrah ke pondok. Tadi ibu yang nyuruh ke sini. Ibu mau nitip sesuatu?”

Ibu Isrina sedikit termenung memikirkan sesuatu. Dia tidak akan menitip apa pun. Perekonomian sedang susah-susahnya. Apalagi setelah panen jagung yang menghabiskan waktu hampir satu pekan. Uangnya sudah habis untuk membayar buruh.

“Em ... Fah, saya nitip Isrina saja, ya. Tanya dia baik-baik apa dia suka sama seseorang di sana atau tidak. Kalaupun iya, saya minta tolong, Fah. Jangan biarkan, ingatkan dia bahwa di sini sudah punya calon suami. Kamu saya tugaskan jadi mata-mata di sana. Tolong, ya ....” Ibu Isrina memohon dengan menggenggam tangan mungil Arafah.

“Tapi apa yang harus Arafah lakukan, Bu?”

“Dengarkan setiap kali Isrina bercerita. Kalau sekiranya ada sebuah surat atau Isrina mengatakan menyukai seseorang. Kamu bisa lapor ke saya kalau kamu pulang. Bisa?”

“Hm ... iya, bu.”

___

“Mbak Isrina!”

Gadis yang dipanggil menoleh. Suaranya tidak asing. Isrina yang berada di depan kamar tengah melakukan hafalan itu tersenyum ketika melihat Ulya-teman sekamarnya dari Lampung sudah kembali.

“Ma syaa Allah ... sudah kembali kamu?”

Ulya mengangguk. “Mau zakat fitrah, Mbak. Rumahku, ‘kan jauh. Kalau berangkat ke sini sehari sebelum lebaran pasti melelahkan.”

“Iya, sih. Tapi omong-omong enggak sama Hilda?”

“Dia katanya ke pondok malam lebaran. Paginya mau salat ied di sini. Nah, habis itu siangnya setelah maaf-maafan sama keluarga abah. Dia pulang lagi. Begitu katanya. Mbak Arafah belum datang kah?”

Ulya mengedarkan pandang. “Apa dia mau samaan kayak Hilda?”

Isrina mengangkat bahu. “Belum tahu, sih. Masuk dulu, Mbak. Taruh barang-barangnya. Istirahat juga. Enggak kangen sama kamar?”

“Aku kangennya sama penghuninya, ih.”

“Setan, dong.”

Keduanya tergelak. Isrina ikut duduk di samping Ulya yang sibuk menata barang-barangnya. Gadis itu mengeluarkan dua bungkusan dari kresek hitam.

Kisah 60 Hari (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang