BAB 12

39 5 0
                                    

Tiga hari berlalu semenjak kejadian di mana Fatimah mengakui bahwa dirinya memang cemburu kepada Gus Afdhal yang lebih cenderung memprioritaskan Isrina.

Meski hatinya masih bertanya-tanya ada apa dibalik sikap gusnya dan perkataan Fahmi waktu itu. Fatimah lebih merasa tidak nyaman. Isrina sekarang berubah total. Mungkin ini juga yang dirasakan gadis penggemar sarung itu saat dirinya bersikap beda.

Isrina sudah mulai aktif di hadrah. Dia berusaha fokus. Menurutnya, kesalahpahaman yang terjadi di antara dirinya dengan Fatimah membuat pikirannya sedikit terganggu. Dia mencari kesibukan.

Sambutan yang baik dari kakak kelasnya diterima. “Sekarang, coba nyanyi shalawat kesukaan yang paling kamu kuasai,” ujar Laras, kelas lima yang menjadi vokal utama di tim hadrah. Bakda Zuhur ini mereka mengisi waktu luang untuk berlatih.

Nama grup hadrah ‘Laa Tansa' sudah tidak asing di pendengaran warga sekitar, grup yang berdiri enam tahun lalu ini sudah sering ditampilkan di berbagai daerah sampai luar kota.

Ketika mereka bertanya kepada Nyai Salamah mengapa nama grupnya Laa Tansa, dengan enteng beliau menjawab, “Agar tidak mudah dilupakan.”

Laa Tansa dalam bahasa Arab berarti jangan lupa. Harapan nyai Salamah, ummi dari setiap Mahasantri di pondok pesantren Darussalam, grup hadrah yang didirikan ini akan terkenang selama-lamanya, dalam artian tidak mudah dilupakan oleh masyarakat.

Anta nuskhotul akwan.

Fii karohmatul rahman.

Wajma' syuwar al-qur'an.

Bismillah ....

Allah, Allah, bismillah.

Laras tersenyum. Dia menyuruh Isrina berhenti. Mereka mulai duduk rapi, seperti sedang berada di atas panggung. Bedanya mereka duduk saling berhadapan. Hendak menyesuaikan iringan rebana dengan lagu yang disukai Isrina.

Setengah jam berlalu, lagu shalawat sudah berganti-ganti. Ternyata, latihan kali ini difokuskan kepada Isrina. Setelah Anta Nuskhotul, Isrina kembali membawakan shalawat dengan judul Yaa Khitamal Anbiya, Annabi Shallu ‘Alaih, dan ‘Ibadallah.

“Hehe, gimana kali pertama latihan?” Narash kembali menyejajarkan langkah Isrina. Dia berusaha dekat dengan santri baru yang menguasai hampir semua bidang itu.

“Alhamdulillah, senang.”

“Hai, kitabnya udah datang!” Seorang santriwati menghadang jalan dari depan. Suaranya cempreng, penampilannya serba longgar. Dia berkacamata.

Memang, tiga hari setelah puasa biasanya kitab baru datang untuk ngaji pasaran. Isrina sudah mulai gelagapan, dia santri baru. Dan dia pasti malu meminjam uang.

“Ayo, langsung ke koperasi!” ajak Narash. Tapi, Isrina masih diam mematung.

 Selama di pesantren, Isrina belum mendapat kiriman lagi dari orang tuanya, sedangkan uang saku yang dibawanya dulu saat berangkat sudah habis untuk membeli kitab dan peralatan-peralatan lain.

Biasanya ada Arafah, sahabatnya itu tidak pelit. Saat sabun hampir habis pun, dia sudah membawa Isrina ke toko dan membelikannya.

Isrina terbengong ketika sudah mendapat kitab, sebenarnya dia ingin mengatakan hal yang sebenarnya kepada Narash, tetapi gadis itu malu.

Narash berbalik ketika sudah membayar. Dia tersenyum ke arah Isrina. Masih banyak antrean di belakang gadis yang tak kunjung bergerak itu.

“Ayo, cepat! Sebentar lagi waktu Asar. Nanti kita langsung ngaji di musala.”

Kisah 60 Hari (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang