Usai ngaji pasaran Subuh. Isrina, Narash, dan Fatimah berjalan-jalan ke sawah. Mereka bertiga tampak akur sekarang. Ketiganya masih memakai mukena dan membawa kitab masing-masing.
Baru hari ini, mereka memutuskan untuk refreshing. Karena memang hubungan ketiganya baru seakrab sekarang.
“Mbak, biasanya kalau bantu-bantu Lik Farza itu kapan?”
“Mulai jam sembilan sampai kadang jam dua, bisa lebih juga, sih. Tergantung ramai enggaknya,” jawab Fatimah atas pertanyaan yang dilontarkan Narash.
“Memangnya bantu-bantu apa, Mbak? Toko, ya?” tanya Isrina. Gadis yang menyandang status santriwati baru itu hanya tahu nama Lik Farza sebagai adik dari istri sang guru, Nyai Salamah. Selebihnya, dia minus pengetahuan.
Fatimah yang berjalan paling dulu di galangan sawah itu memutar tubuh dan mengangguk. “Toko sembako gitu, jadi meski bulan puasa ya tetep ada pembeli. Malah kadang lebih ramai kalau bulan puasa.”
Fatimah berhenti ketika sudah melewati galangan sawah. Ketiganya berdiri bersisian dengan Isrina di tengah-tengah. Berada di lahan sawah yang kosong, hanya tersisa padi-padian menguning sisa panen. Mentari mulai naik ke permukaan. Pemandangan itu tak disia-siakan oleh ketiga gadis yang menyandang status santriwati itu.
“Andai ada ponsel, ya. Kita bisa nih mengabadikan persahabatan dengan latar sunrise,” celetuk Narash.
“Halah, sok-sokan. Namanya santri ya pegangan kitab aja, enggak usah mengkhayal mau pegang-pegang benda gepeng segala,” sahut Fatimah. Kemudian ketiganya kompak tertawa.
“Persahabatan itu tidak memilih pada siapa dan di mana tempatnya.” Fatimah dan Narash mengalihkan tatap pada Isrina.
“Hehe. Aku enggak nyangka aja sih kalau sekarang bisa berteman dekat dengan kalian. Andai Arafah di sini. Pasti makin ramai. Dia itu cerewet, jago buat hangatin suasana.”
Entahlah, Isrina merindukan gadis yang selalu ramai dengan tuturnya. Sahabat sekaligus ibu baginya, Arafah itu meski umurnya sama, dia bisa berpikir dewasa. Mampu mendengar seperti seorang teman, juga bisa menjadi ibu yang dekapannya membawa ketenangan.
Narash menyentuh tangan Isrina, keduanya seumuran. Hanya saja, Narash terlihat lebih dewasa karena perawakannya yang tinggi, berbeda dengan Isrina yang pendek mungil. Hanya Fatimah yang paling tua, gadis itu genap berusia 23 tahun dua bulan mendatang. Sama dengan umur Gus Syamsul. Namun umur tidak menjadi patokan untuk menjalin persahabatan.
“Aku duluan, ya, mau nyuci soalnya,” pamit Narash ketika mereka sudah berada di halaman asrama.
“Mbak. Aku boleh tanya?” Isrina berujar lirih, dia mendudukkan diri di fondasi. Mukena terusan yang dipakainya ia singkap dan ia singsing dalam genggaman tangan yang juga memegang kitab.
“Apa?” Fatimah menyusul duduk. Berdampingan menikmati udara bersih tanpa polusi. Embun pagi saling berjatuhan dari daun-daun bunga di sekitar asrama.
“Kalau boleh tahu dan Mbak berkenan menjawab. Kenapa dulu Mbak seperti musuhin aku? Apa alasannya?”
Mimik wajah Fatimah terlihat biasa, tidak sama sekali menampakkan raut wajah berbeda.
“Kamu tahu, gus Afdhal?” bisiknya. Isrina mengangguk.
“Beliau alasan kenapa Mbak sempat bersikap dingin ke kamu.”
Isrina tentu tersentak. “Apa hubungannya denganku?”
Fatimah menatap lurus, di mana tatapannya jatuh ke arah tembok bercat hijau. “Dulu waktu kamu baru datang. Beredar semua tentangmu, percakapan yang dibahas selalu kamu. Sampai Gus Afdhal, lelaki yang Mbak kagumi bertahun-tahun lamanya juga—“
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah 60 Hari (SELESAI)
Genç KurguSiapa yang tidak menginginkan kehidupan remajanya bebas dan mengisinya dengan hal-hal terindah? Isrina Aulia, korban dari keegoisan orang tuanya yang berambisi menjodohkannya dengan orang kaya di desa. Gadis itu terpukul, orang tuanya menghalalkan s...