BAB 5

58 5 0
                                    

Sepulang mengajar, Gus Syamsul senyum-senyum sendiri. Lumrah baginya yang baru mengenal cinta. Perasaan bahagianya tidak bisa lagi ditutup-tutupi. Lelaki gagah itu merasa seperti kehilangan jati dirinya yang kaku.

Dia duduk di bangku ruang kantor. Menyangga dagu dengan tangan. Masih menunggu kedatangan Gus Afdhal yang entah di mana.

"Haduh ... kalau begini aku enggak mau deh nerima rekomendasi dari Mas Afdhal."

___

Gus Afdhal berdiri di sebuah gubuk yang ada di tengah-tengah Pesawahan. Dia memejamkan mata, menyandar pada penyangga gubuk yang terdiri dari kayu jati yang kokoh. Tangannya menggulir tasbih, melantunkan zikir sambil memejam. Menikmati setiap embusan udara segar yang bebas dari polusi. Entahlah, hatinya sedang dihantui kegalauan. Dia butuh waktu untuk menenangkan pikiran.

"Gus, jangan ganggu saya!" Seruan Fatimah tadi, setelah dirinya selesai mengajar kembali terngiang. Masuk ke dalam hati yang paling dalam. Membuat benaknya juga ikut memikirkan.

Gus Afdhal menghela napas. Biasanya Fatimah biasa saja ketika dirinya mendekati. Lantas kenapa sekarang gadis bertubuh pendek dengan kulit sawo matang itu berubah. Gus Afdhal ingat, tatapan matanya tadi tajam. Tidak seperti biasa yang terkesan teduh.

Alisnya yang hitam lebat itu menukik marah. Gus Afdhal awalnya bangga karena gadis itu mau menatapnya. Namun kalimat seruan itu membuat hatinya melemas.

Tubuhnya luruh ke gubuk. Di sampingnya ada kitab yang tadi dibawanya untuk mengajar. Dia menghela napas, meraup wajah dengan satu tangan. Memandang jauh ke arah Pesawahan yang masing-masing ladangnya memiliki perbedaan dalam jenis tanaman. Ada padi, jagung, cabai, pare, kacang panjang, dan tomat. Meski lebih dominan padi.

"Dik ...," rengeknya. Seolah dia sedang berbicara kepada gadis pemilik mata bulat dengan bulunya yang lentik. Alisnya panjang menukik berwarna hitam, hidungnya bangir seperti gadis Arab.

Gus Afdhal berjalan lunglai meninggalkan gubuk. Ia masuk ke dalam rumah Kiai Hakim. Tidak jadi kembali ke ruang kantor untuk menyimpan kitab.

Dari dalam kamar, Gus Afdhal berdiri di depan jendela. Dia menatap ke bawah. Dapat dirinya lihat, di bawah pohon rindang samping dapur, gadis dengan hijab motif bunga-bunga sedang duduk dengan menekuk lutut. Bukankah ... itu Fatimah?

Fatimah mengangkat wajah, menatap langit yang menyisakan awan berwarna oranye.

Tadi, setelah dirinya mengikuti kelas. Dia berjalan dengan santri-santri junior. Tepatnya kelas satu A. Kelas Isrina.

"Kemarin waktu istighosah yang mimpin, 'kan Gus Afdhal sama Gus Syamsul. Nah, dari depan itu, Gus Afdhal lihat ke arah jamaah putri terus. Mungkin dia cari Isrina."

"Isrina? Santri baru itu, 'kan?"

Gadis yang diajak bicara itu menggumam. Mereka mendahului Fatimah yang berjalan pelan di belakangnya.

"Kemarin Isrina enggak berangkat karena lagi ada tamu bulanan kata Arafah, kamu tahu? Waktu Gus Afdhal enggak nemu Isrina. Dia bisik-bisik gitu ke Gus Syamsul. Tatapannya kayak kecewa gitu, loh."

"Hm? Mungkin benar kali, ya kalau Gus Afdhal suka sama santri baru itu."

"Udah bukan mungkin lagi, tapi nyata. Kalau kayak kemarin, sih. Semua juga pada sadar kalau Gus Afdhal suka sama Isrina."

Fatimah menghela napas, kemudian tangannya terangkat memeluk kitab di dada. Gadis itu berjalan menunduk. Mendahului tanpa menyapa.

Seperti biasa, di lorong asrama yang sepi. Gus Afdhal menghadang. "Dik," sapanya. Lelaki itu tersenyum lebar. Menampakkan sederet giginya yang rapi.

Kisah 60 Hari (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang