“Dek, jam berapa sekarang?” tanya Gus Afdhal. Fatimah seketika menoleh, wajahnya menunjukkan kebingungan. Namun, tidak berkata banyak, gadis itu melihat jam dinding. “Jam dua, Gus.”
“Samsul kok tidak pulang-pulang, ya? Ngapain dia sama Isrina?”
Gus Afdhal ke luar, kemudian di halaman depan rumah Lek Farza lelaki itu melihat Gus Samsul tengah berdiri tegap dengan pandangan lurus. Takut terjadi sesuatu dengan adik sepupunya, gegas Gus Afdhal mendekat.
Tangan kekarnya terangkat, menepuk keras pundak Gus Samsul hingga lelaki itu tersentak kaget.
“Astagfirullah ... Mas, ngagetin aja!”
“Kamu ngapain di sini? Mana berdiri dengan tatapan kosong gitu. Kaya orang kesurupan tahu.”
Gus Samsul mengajak Gus Afdhal ke rumahnya. Gus Samsul menarik kursi yang didudukinya agar lebih dekat dengan kursi Gus Afdhal.
“Mas, masa tadi aku pegang tangannya Isrina.”
Ucapan itu membuat Gus Afdhal mendepak paha Gus Samsul. “Macam-macam kamu, ya. Halalin dulu, astagfirullah nafsu banget si kamu. Zina namanya, Sam.”
“Bukan begitu, Mas. Ada ceritanya, dengarkan dulu. Jadi tadi waktu kita lagi ngobrol ada bapak-bapak bawa bambu runcing, nah, Isrina itu mundur-mundur terus, ya sudah aku pegang tangannya biar dia enggak ketusuk. Darurat, ‘kan?”
“Kamu bisa loh, Sam bilang sama dia. Lisanmu ini kalau enggak dipakai buat apa? Emang namanya setan itu selalu mencari kesempatan, ya. Makanya dilarang khalwat!”
“Maaf, Mas. Aku refleks, bener.” Gus Samsul mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya. Peace.
“Tapi tetap salahmu juga, kalau enggak ngajak Isrina pergi enggak akan terjadi.”
Gus Afdhal berjalan meninggalkan Gus Samsul. Dia masuk ke dalam rumahnya.
Gus Samsul hanya bisa menunduk. Benar, ini salahnya. Ini pertama kali dia memegang tangan non mahram, apalagi ia ingat jelas, tubuhnya dan Isrina tadi sangat dekat. Tapi ... tadi bukan sebuah kesengajaan, ‘kan? Ini darurat, dia hanya berniat menyelamatkan.
Gus Samsul kemudian mengangkat tangannya, mengamati lama. “Kaya ada yang kurang sih di tangan.”
Dia melirik jam tangan yang melingkar di tangan sebelah kiri. Biasanya ada benda di tangan kanan. Tapi apa, ya?
“Astagfirullah, ke mana tasbihku? Itu dari Abah Fadholi waktu aku khatam alfiyah.”
Gus Samsul ingat, itu pemberian dari gurunya, kiai Fadholi. Dulu di pesantren, ia termasuk santri yang sudah beberapa bulan di sana tapi belum betah juga. Pada akhirnya, ada salah satu pengurus yang lapor pada kiai Fadholi.
Kiai Fadholi mendatangi Gus Samsul. Kemudian memberikan tantangan, jika Gus Samsul mampu khatam alfiyah hanya dalam waktu beberapa bulan, ia akan memberikan tasbih kecil yang dibelinya di Makkah, ada kenang-kenangan tersendiri. Namun, ia memilih merelakannya untuk santrinya. Kiai Fadholi percaya, Gus Samsul adalah lelaki yang cerdas, meski dari keluarga kiai, namun Gus Samsul rendah hati, dia tetap berperilaku seperti santri lain.
Kekurangannya hanya satu, dia selalu merengek ingin pulang karena tidak betah. Otomatis, dengan adanya hafalan nadham itu, Gus Samsul makin tekun, dia fokus. Sampai pada akhirnya Gus Samsul betah.
“Ceroboh banget, sih. Masa hilang. Itu, kan pemberian Abah.”
___
“Kamu habis dari mana sih, kok tadi enggak ikut latihan?”
Isrina tergagap. “E-eh, tadi aku diminta Mbak Fatimah bantu-bantu ke rumah Lek Farza, loh. Katanya enggak boleh nolak.”
Mata Narash tertuju pada lengan Isrina. Ada sebuah benda yang menarik perhatian. Tangannya terulur menyentuh, namun tubuh Isrina sudah lebih dulu menjauh.
“Itu apa, sih? Bagus banget.”
“Gelang biasa, udah ah, ayo kita berangkat. Nanti ketinggalan, Rash.”
Keduanya berjalan bersisian ke mushola. Lima hari ini, kiai Hakim belum pulang juga. Masih dengan Gus Samsul yang mengampu. Tapi ada kemajuan, lelaki itu sudah tidak terlalu cepat membaca kitab.
Setengah jam berlalu, mata Isrina mulai berkedip pelan. Gadis itu tidak kuat menahan kantuk. Dia beberapa kali menguap. Seperti biasa, Isrina mengosongkan kitabnya. Dia hanya pura-pura mengisinya dengan menulis bahkan menggambar abstrak kitabnya.
“Wudu sana, biar enggak ngantukngantuk,” bisik Narash. Lama, gadis itu memperhatikan.
“Emh ... malu ke belakangnya.”
Isrina memutuskan meletakkan kepala di tumpukan tangan. Dia memegangi pulpennya dan sedikit menindih kitab. Tidak terlalu kentara bahwa dirinya sedang ngantuk, meski tidak sopan, tapi bagaimana lagi, Isrina sudah tidak tahan.
Kemarin malam, gadis itu kurang tidur karena memikirkan orang tuanya yang sampai saat ini belum juga mengiriminya uang. Padahal ia butuh, untuk mengganti uang Fatimah beberapa waktu lalu yang membayarkan kitabnya.
Gus Samsul mengangkat wajah dari kitab, seperti biasa, jeda sebentar untuk memberikan penjelasan. Lurus dari tempatnya duduk. Santri dengan baju merah hati dengan hijab sepadan mengalihkan atensi. Gus Samsul terdiam. Masih memandangi gadis yang beberapa hari terakhir membuat hatinya berdegup kencang.
Sepertinya memang benar dugaannya, Isrina menyukai warna merah. Belakangan terlihat gadis itu sering memakainya.
“Ekhem!” Gus Afdhal yang kebetulan memasuki mushola sekaligus melakukan pengamatan itu menegur Gus Samsul lewat deheman.
Gus Samsul refleks meraup muka. Ia menegakkan duduknya. Berkali-kali ia melafazkan istigfar dalam hati. Tingkahnya itu lantas membuat santri putra bersorak menggoda. Sesuka-sukanya mereka pada Isrina, mereka tetap mengaku kalah bila saingannya adalah Gus Samsul.
Isrina mengangkat kepala. Dia sedikit terganggu dengan kebisingan yang terjadi. Matanya merah dan tatapannya menyipit. Keningnya berkerut, dia menatap Narash meminta penjelasan.
“Kamu enggak mau wudu dulu? Mukamu enggak enak banget dipandang,” jawab Narash.
Isrina sontak memegangi mukanya. “Baiklah. Aku wudu sebentar, gimana izinnya?”
“Kamu tinggal angkat tangan, terus izin ke kamar mandi mau wudu, gitu aja.”
“Tapi nanti aku ketahuan habis ngantuk, dong.”
“Enggak, kamu tadi enggak kayak ngantuk kok. Lihat, tuh. Masih banyak yang ngantuk di belakang kita.”
Isrina memberanikan diri mengangkat tangan. Kebisingan seketika berhenti. Gus Samsul mendekatkan mikrofon ke mulut. “Ya?”
“Saya mau izin pamit ke kamar mandi, mau wudu, Gus!”
Setelah hilang dari pandangan, Gus Samsul baru ngeh. Dia melihat tasbihnya ada di tangan kanan Isrina. Itu terlihat ketika Isrina mengangkat tangannya tadi.
Bagaimana bisa? Ah, Gus Samsul ingat, saat kejadian di mana tangannya menggenggam tangan Isrina. Kebetulan, lelaki itu sedang memegangi tasbih kecilnya, dan kemungkinan besar tasbih itu beralih ke tangan Isrina?
Rasanya tidak masuk akal. Tapi ... apakah ini tandanya memang benar, bahwa Isrina adalah jodohnya? Aih, sejak kapan Gus Samsul percaya hal-hal semacam itu.
Sudah cukup berbincang dengan hatinya, Gus Samsul mulai kembali memfokuskan diri menjelaskan secara rinci apa yang sudah dibacanya tadi.
Sampai Isrina kembali, Gus Samsul tidak berani memandangnya. Selain karena Gus Afdhal ikut duduk di jamaah santri putra, ikut menyaksikan. Juga karena Isrina sangat berpengaruh dan sangat pandai mengalihkan dunianya.
“Alhamdulillah, cukup sampai sini, ya. Semoga bisa dimengerti. Kemungkinan kiai Hakim akan kembali dua hari lagi. Otomatis beliau yang melanjutkan.”
___
BERSAMBUNG.
Yang mau order novelnya, boleh banget. Masih harga PO. Hanya 71.900.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah 60 Hari (SELESAI)
Teen FictionSiapa yang tidak menginginkan kehidupan remajanya bebas dan mengisinya dengan hal-hal terindah? Isrina Aulia, korban dari keegoisan orang tuanya yang berambisi menjodohkannya dengan orang kaya di desa. Gadis itu terpukul, orang tuanya menghalalkan s...