BAB 18

30 4 0
                                    

“Fahmi, nanti jam delapan temani saya ke mal, ya!” Gus Samsul merangkul pundak remaja yang beberapa jengkal lebih tinggi darinya.

Fahmi memicingkan mata. “Halah, nanti bilangnya ke mal, tau-tau ke asrama mau ketemu Isrina.”

“Enggaklah! Besok sudah masuk ke sepuluh hari terakhir. Tandanya, kita harus fokus ibadah. Berusaha agar bisa menemui malam seribu bulan, malam lailatul qadr.”

“Inggih, Gus.”

Gus Samsul mengajak Fahmi ke rumahnya. Mereka duduk bersama di teras. Gus Samsul menunjukkan layar ponsel pada Fahmi. “Bagaimana menurutmu? Posting di Instagram atau tidak foto ini?”

“Enggak usah, Gus. Belum halal. Malu kalau nantinya enggak jadi. Posting foto itu nanti kalau kalian nikah. Sabar, Gus ....”

“Fahmi, apa kamu tahu hubungan Mas Afdhal sama mbakmu?” Fahmi menggeleng. “Setelah kejadian Mbak Fatimah nangis-nangis dan Gus Afdhal pura-pura marah itu saya sudah enggak tahu apa pun.”

“Kejadian seperti apa itu?”

“Begitulah, Gus. Waktu itu Mbak Fatimah bilang ke Gus Afdhal kalau memang benar dia cemburu karena Gus Afdhal terkesan lebih perhatian sama Isrina. Terus Gus Afdhal malah pura-pura marah gitu, beliau bilang apa hak Mbak Fatimah cemburu sama dia, lah—“

“Apa?! Terus apa yang terjadi?” pangkas Gus Afdhal.

Fahmi melirik malas. “Otomatis Mbak Fatimah makin nangis dengernya. Tapi enggak lama, kok, Gus Afdhal malah gombal dikit gitu.”

“Ekhem! Bulan puasa masih suka gibah, ya.”

Gus Samsul dan Fahmi menoleh ke asal suara. Ada Gus Afdhal yang berdiri di tengah-tengah pintu tengah bersedekap dada.

“Fahmi, ayo, ke masjid! Sudah saatnya salat duha.”

___

“Enggak pakai koko merah lagi, Gus?”

Fahmi mengamati penampilan Gus Samsul yang sudah seperti biasa. Menggunakan kaus hitam yang dimasukkan ke dalam sarung batik. Kemudian atasannya ada jas yang ikut membalut tubuhnya.

“Kemarin, ‘kan mau ketemu Isrina.”

“Apa hubungannya?” Fahmi masih asyik bercermin di kaca rumah Gus Samsul. Mengamati penampilannya yang menurutnya gaul. Dia memakai sweater hitam yang baru dibelinya beberapa hari lalu, dipadukan dengan celana bahan berwarna cream.

“Merah itu warna kesukaan Isrina.”

“Lah, tahu dari mana, Gus?”

“Cuma nebak aja.” Gus Samsul menoleh ke Fahmi ketika sudah selesai berkemas. Lelaki itu membawa tas punggung yang hanya berfungsi untuk menampung ponsel dan uangnya. “Enggak pakai peci, ta?”

Fahmi menggeleng. “Biar gaul.”

___

“Mbak, biasanya santri ke sini, enggak kalau lebaran?”

“Hm ... malam lebaran atau dari hari ke dua puluh tujuh biasanya zakat fitrah si ke sini.”

Isrina tercengang. Dia tidak punya uang untuk zakat fitrah. Tidak mungkin dia mengandalkan ibunya. Tapi ... beras yang dibawakan ibunya dulu masih ada sekarung di dapur.

Di Pesantren Darussalam, semua santri mempunyai beras masing-masing. Di karung, akan ada goresan nama dari tinta spidol. Setiap kali akan dimasak, santri mengambil satu atau dua gelas beras, tergantung jatah makan.

“Mbak, lebaran, ‘kan aku pulang. Boleh enggak kalau misal aku ambil beras buat zakat?”

Fatimah mengangguk. “Boleh, kok. Kamu mau?”

Kisah 60 Hari (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang