Arafah berdecak, sudah lama dia menanti Isrina yang sibuk mencari buku tulis untuk kelas Jurumiyah. Ya, seminggu sudah berjalan. Hari ini kelas satu A akan kembali bertemu dengan Gus Syamsul. Isrina berdebar, dia tidak bisa membayangkan bagaimana jika lelaki itu tahu bahwa dirinya yang menegurnya kala itu.
Gus Syamsul ketagihan mengajar di kelas Isrina. Dia meminta pada Kiai Hakim agar memindahkan Ustazah Olla. Kiai Hakim setuju, pun dengan ustazah yang baru saja kembali dari kampung halaman itu. Gadis manis dengan tutur kata lembut itu mengaku dengan senang hati ketika diminta pindah kelas ajar.
“Rin ... sebentar lagi mulai,” keluh Arafah. Sebal karena Isrina tak kunjung menemukan bukunya. “Pakai buku yang lain, ‘kan bisa.”
Isrina menggeleng. Dia tidak mau bukunya campur aduk antara pelajaran satu dengan yang lain. Sebab, gadis itu mengaku sedikit ceroboh. Dia akan kesusahan ketika nantinya diminta untuk mencari materi yang sudah diberikan. Apalagi dirinya bukan tipe santri yang rajin menyalin catatan.
“Kamu berangkat dulu, lah.” Isrina bangkit. Semula gadis itu berjongkok di depan lemari, mencari buku di bagian bawah. Isrina mengusap tangan, menatap Arafah dengan sedikit raut khawatir juga bersalah.
Dia memaksa, Arafah yang semula menggeleng tidak setuju Isrina paksa keluar dengan didorongnya kasar. Biar dia yang dapat hukuman asal tidak dengan temannya.
Arafah memasuki kelas dengan was-was. Kedua bola matanya sontak membola ketika dia berpapasan dengan Gus Syamsul yang datang dengan kitabnya. Lelaki yang biasanya menggunakan jas itu, kali ini memakai sarung dengan koko berlengan panjang.
“G-Gus ...,” sapa Arafah gemetar.
Gus Syamsul tersenyum, dia mempersilakan Arafah masuk terlebih dulu. Dia pikir, Isrina akan menyusul sebentar lagi. Karena waktu pertama kali dirinya mengajar, yang ia sangka paling dekat dengan gadis itu adalah Arafah.
“Kok Gus Syamsul enggak masuk-masuk? Kamu bohong, ya. Katanya tadi kamu papasan sama beliau,” ujar salah seorang santri yang duduk di bangku depan Arafah. Dia berbalik. Menatap Arafah yang kebingungan.
Arafah menggeleng. Dia menunjukkan isyarat ke arah teman-temannya agar diam. Dia berjalan pelan menuju jendela. Dari kaca dia dapat melihat gusnya duduk di fondasi yang tingginya sebatas lutut. Biasa diduduki atau digunakan untuk menjemur karpet ketika siang.
Arafah mengernyit. Bertanya-tanya ada apakah gerangan dengan gusnya itu sampai tidak mau masuk kelas.
Dia kembali tersentak ketika tersadar bahwa Isrina juga belum masuk kelas. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana nanti Isrina menghadapi hukuman keduanya. Apa karena itu, Gus Syamsul di luar. Apa lelaki yang tengah menunduk membolak-balik kitab itu sadar bahwa salah satu santrinya ada yang belum memasuki kelas?
___
“Akhirnya ketemu juga.” Isrina menarik buku yang berada di tumpukkan kitab-kitab tebal milik Arafah yang memang setempat berada di lemarinya.
Dia melirik jam dinding, jarum jam menunjukkan pukul 16.17. Matanya membola, dengan segera gadis itu mengambil bolpoin dan kitab yang tergeletak di atas lemari. Dia berlari ke luar kamar dengan tergesa. Tapi sayang, sandal yang hendak dipakainya itu mempersulit akibat gerakan tubuhnya yang gugup. Sandalnya ke sana-kemari membuatnya dengan paksa mengambil menggunakan tangan.
Kebiasaannya menggunakan mika pun harus diurungkan. Waktu sudah mepet. Untungnya, hijab segi empat yang dipakainya kali ini sedikit kaku kainnya.
Zikir dilantunkannya sepanjang jalan. Napasnya tersengal ketika sampai di depan kelas. Isrina membungkuk guna menetralkan napas, matanya memejam, menghirup kuat udara di sekitar dengan rakus.
Ketika matanya terbuka. Dia gemetaran. Sandal lelaki dengan sarung kotak-kotak berada tepat di depannya. Harum ini? Isrina berusaha mengingat di mana dia pernah mencium aroma ini.
Isrina mengangkat kepala, dapat dilihat di depannya, seorang lelaki rupawan yang tengah memandangnya pula dengan mulut ternganga. Isrina tersenyum kikuk, dia menggaruk tengkuk. Bagaimana bisa, napas yang semula tersengal dan rasa lelah setelah berlari lenyap begitu saja ketika berhadapan dengan Gus Syamsul yang dulu dia kira khadam?
“Kenapa telat?” Gus Syamsul buru-buru menormalkan mimik wajah. Sungguh, dia kagum melihat wajah santrinya. Ternyata selama ini ada mutiara tersembunyi di balik selembar kain.
“A-anu, ngapunten, Gus. Buku saya tadi susah dicari.” Isrina lupa menutup wajah saking gugupnya. Lagi pula, lelaki di depannya juga sudah terlanjur melihat wajahnya, bukan?
Gus Syamsul berusaha menahan senyum ketika santri yang menegurnya minggu lalu itu sudah menyebutnya ‘gus’.
“Masuklah!”
“Saya tidak dihukum?” Pertanyaan polos Isrina lagi-lagi membuat Gus Syamsul harus menahan senyum hingga pipinya yang bersih dari jambang itu menggembung.
“Hukuman kamu nanti di dalam, saya ada kuis sederhana.” Gus Syamsul menjawab asal. Dia secepatnya melenggang masuk ke dalam kelas.
Isrina mengikuti. Keduanya masuk bersamaan, dengan raut wajah yang berbeda tentunya. Gus Syamsul semringah, sedang Isrina menekuk wajah. Sesederhananya soal Jurumiyah, pasti tidak ketinggalan yang namanya fiil, fail, dan isim.
Arafah berbisik, “Kamu lolos dari hukuman?”
Isrina menoleh. Menggeleng dengan muka lesu. “Aku dapat kuis sederhana.” Isrina berujar dengan malas. Menirukan suara datar Gus Syamsul ketika mengatakannya tadi.
Isrina sudah berusaha memfokuskan otaknya pada materi yang disampaikan oleh gusnya. Dia tidak berani menoleh ketika Arafah mengajaknya berbicara, juga ketika teman-temannya ingin meminjam tipe-x. Isrina takut, jika dia tidak bisa menjawab kuis dari Gus Syamsul nanti.
Setiap kali Gus Syamsul menjabarkan kalimat-kalimat Arab yang ditulisnya di papan. Isrina mencatatnya sedetail mungkin. Hal itu tak luput dari pandangan Gus Syamsul sendiri. Lelaki yang duduk di bangku paling depan itu merasa terhibur. Hatinya menghangat ulah Isrina—gadis yang menjadi santrinya.
Sampai akhir, gadis itu bertanya-tanya meski tidak berani berbicara langsung, hanya menelan rasa penasarannya dalam hati. Gus Syamsul menutup kelas tanpa memberinya kuis. Lalu, hukumannya? Dia ingin menagih, tapi ... bukankah lebih bagus jika tidak jadi? Tapi Isrina sudah belajar, menyerap setiap kata yang keluar dari mulut si gus.
Dia hanya terbengong menatap punggung kokoh yang sudah berjalan ke luar dari kelas.
“Hukumanku? Fah ...,” rengeknya pada gadis yang sudah memeluk kitab dan buku tulisnya di dada.
“Kenapa begitu? Bukankah lebih baik tidak jadi? Kamu ini aneh, loh. Udah enggak jadi dihukum malah begitu.” Arafah bangkit berdiri hendak meninggalkan kelas.
“Fah, kamu lihat sendiri tadi. Bagaimana aku fokus mendengarkan penjelasannya. Mencatat sedetail mungkin kata per kata yang keluar dari mulutnya.” Isrina masih mendumel.
“Buat besok lagi.”
“Arafah, tunggu!” Isrina yang kebagian keluar terakhir itu mengunci pintu kelas. Dia berjalan cepat agar bisa mengimbangi langkah Arafah.
Mereka menyimpang ke kanan. Berjalan lurus untuk kembali ke asrama. Di tengah jalan, di halaman yang biasa digunakan untuk apel pagi mereka bertemu dengan Fatimah. Santri ndalem yang terkenal ramah itu membuat santri-santri junior tidak segan untuk menyapa.
Seperti yang dilakukan oleh Isrina dan Arafah, keduanya menyapa bersamaan. Fatimah balas tersenyum, hanya ke arah Arafah. Kemudian, dengan secepat kilat gadis itu pergi tanpa mengatakan apa pun lagi.
“Kok Mbak Fatimah enggak senyum ke aku?” tanya Isrina. Dia sedikit tersinggung ketika sapaannya tidak dibalas.
Meski sama-sama heran. Sebagai teman Arafah berusaha menenangkan. “Mungkin kamu yang salah lihat.”
Keduanya kembali berjalan bersisian. Arafah menoleh ke belakang. Menatap punggung Fatimah yang semakin mengecil tertelan bangunan-bangunan yang dilewatinya.
“Enggak biasanya mbak Fatimah begini. Kenapa, ya? Seminggu tidak bertemu kok sikapnya ke Isrina berubah,” batin Arafah.
___
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah 60 Hari (SELESAI)
Novela JuvenilSiapa yang tidak menginginkan kehidupan remajanya bebas dan mengisinya dengan hal-hal terindah? Isrina Aulia, korban dari keegoisan orang tuanya yang berambisi menjodohkannya dengan orang kaya di desa. Gadis itu terpukul, orang tuanya menghalalkan s...