BAB 2

72 6 0
                                    

“Assalamu’alaikum, Mbak Fatimah.”

Fahmi menampakkan deretan giginya ketika jawaban salam terdengar dari dalam, lelaki itu duduk di luar dapur. Memandangi ke bawah, tepatnya ke arah asrama putra dan putri yang terpisah jauh.

Halaman pondok pesantren Darussalam memang sangat luas. Jika dibandingkan mungkin mencapai satu desa luasnya. Terdiri dari beberapa bangunan megah, di antaranya yakni; asrama putra dan asrama putri, masjid bertingkat untuk putra dan putri, satu musala besar yang khusus digunakan untuk istighosah bagi kelas sepuluh setiap bakda Isya, gedung aula, ruang kelas mulai dari kelas satu A, satu B, dan gedung-gedung besar lainnya.

Bertempat di pegunungan, maka dapur menjadi tempat paling atas urutan kedua setelah rumah Kiai Hakim. Selang beberapa meter, di sisinya berjejer kamar mandi. Kemudian setiap turun ke bawah akan menemui gedung asrama yang banyak sekali pohon rindang. Di tiap-tiap pohon akan tertempel Asmaul Husna yang dibuat oleh para santri.

Baik untuk putra, maupun putri. Semua bangunan dibuatkan sama tanpa perbedaan. Mulai dari warna catnya, desain interiornya, tata letak, dan denah ruangnya. Semua dibuat sama rata tanpa ada perbedaan.

Berbeda peraturan ketika santri putra dilarang memasuki kawasan santri putri. Maka, jika santri putra maupun putri masuk ke wilayah dapur. Diperbolehkan. Selain karena tempatnya sedikit jauh dari asrama, setiap santri khususnya santri putra memasuki kawasan dapur putri akan diberlakukan peraturan khusus, yaitu harus menemui Kiai Hakim di ndalem terlebih dulu.

Jarak dari asrama putra ke dapur putri pun perlu memutari wilayah pondok. Mereka harus berjalan sekurang-kurangnya 5 kilometer melewati galangan sawah.

Fatimah keluar dengan tangan basahnya. Mungkin baru saja cuci tangan.

“Ada apa?” Gadis 22 tahun itu menatap adik sepupunya tak suka. Jam makan siang akan tiba, dia harus memasak dan Fahmi datang mengganggunya.

“Em, Mbak sudah tahu belum kalau di sini ada santriwati baru?”

Fatimah menautkan alisnya yang hitam. “Benarkah? Mbak baru tahu dari kamu.”

“Aduh, gimana, sih. Padahal Fahmi, ‘kan mau tahu namanya.”

Fatimah menggelengkan kepala. “Kamu kebiasaan, pasti kamu dimintai teman-temanmu dan kamu akan meminta hadiah dari mereka.”

Remaja tanggung yang duduk di bangku MA itu menggaruk tengkuk. Ia menyuruh kakak sepupunya diam dengan isyarat telunjuknya yang menempel di bibir. Sedikit malu karena banyak mbak-mbak ndalem juga berlalu lalang.

“Mbak, kamu perempuan. Mudah dong dekati santriwati itu dengan dalih apa pun. Nanti sambil cari tahu namanya.” Fahmi mendahului Fatimah menjauh dari dapur. Berdiri bersisian dengan jarak 2 meter di dekat tempat pencucian.

“Apa?! Kamu pikir Mbak enggak ada kerjaan!”

Fahmi memelas, kemudian mengeluarkan surat dari saku koko. “Ambil ini, Mbak. Tadi temanku titip surat buat santriwati itu. Fahmi minta tolong sampaikan dan cari tahu namanya. Ya?”

Seolah menimang-nimang, Fatimah terdiam. Tak lama kemudian dia mengangguk.

“Baiklah, sebenarnya Mbak mau melakukan ini karena Mbak juga ingin tahu seperti apa santriwati yang bikin teman-temanmu sampai ngirim surat. Apa dia cantik?”

“Beuh ... cantik banget, Mbak Fatimah aja lewat.”

___

“Dik Fat!”

Fatimah berbalik. Selepas Zuhur ini dia berjalan hendak mencari keberadaan santri  baru itu.

“Gus Afdhal?”

Kisah 60 Hari (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang